Pengalaman bencana longsor dan banjir bandang yang pernah sampai menghancurkan beberapa prasarana umum menimbulkan trauma bagi masyarakat di Desa Abang Batu Dinding, Kintamani, Bali. Karena itu, masyarakat pun mengapresiasi pemasangan instrumen Landslide Early Warning System (EWS) buatan UGM di desa tersebut yang mampu mengurangi rasa cemas warga terhadap kemungkinan munculnya bencana longsor dan banjir bandang
“Jelas manfaatnya karena akan memberikan peringatan dini ke warga jika sewaktu-waktu bencana terjadi,” ucap I Wayan Ardika, warga Abang Batu Dinding, Minggu (9/10).
Ia mengisahkan, pada tahun 1964 silam desa ini sempat dilanda bencana banjir bandang yang menelan 2 orang korban jiwa meninggal dunia serta menghancurkan pura yang terletak di desa tersebut. Daerah yang dihuni 189 KK serta 570 jiwa ini, kata Ardika, memang rawan terhadap longsor dan banjir.
Senada dengan itu, Kepala BPBD Bangli, I Wayan Karmawan, mengaku terbantu dengan EWS buatan UGM, terutama mengingat kondisi daerah tersebut yang rawan bencana longsor serta banjir bandang. Hadirnya EWS UGM pun kemudian diikuti dengan dilakukannya berbagai pelatihan tanggap bencana kepada masyarakat.
“Masyarakat tahu mana jalur-jalur evakuasi ketika terjadi longsor atau banjir bandang,”papar Karmawan.
Peneliti UGM, Dr. Wahyu Wilopo, menjelaskan bahwa pemasangan 4 buah sensor EWS di Abang Batu Dinding yang telah dilakukan tahun lalu ini dilakukan melalui kerja sama antara UGM dengan BNPB. Alat deteksi longsor yang dipasang terdiri dari ektensometer, tilmeter dan curah hujan. Sebelum alat tersebut dipasang, tim dari UGM pun telah terlebih dahulu melakukan kajian risiko, sosialisasi, pembentukan tim siaga bencana, pembuatan peta jalur evakuasi, penyusunan SOP evakuasi, pemasangan alat EWS dan gladi evakuasi serta membuat kesepakatan bersama dalam pemeliharaan alat EWS.
“Kita menentukan lokasi mana saja yang kita anggap berisiko terancam,” katanya.
T. Faisal Fathani, PhD salah satu anggota tim peneliti, menambahkan bahwa sistem ini juga sudah menjadi SNI untuk pemasangan system EWS gerakan tanah di Indonesia. Menurut Faisal, alat EWS ini mampu mendeteksi gerakan tanah hingga 1 milimeter, namun tetap menyesuaikan kondisi lokasi geologi dan struktur tanah tersebut. Wahyu menyebutkan, selain di Bangli, lebih dari 100 unit alat peringatan dini telah diaplikasikan di 16 provinsi di Indonesia serta pada sejumlah perusahaan tambang di luar negeri.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan bahwa pemasangan EWS ini merupakan bentuk kehadiran UGM dalam rangka menjalankan tugas negara, khususnya dalam menerapkan hasil dari kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat.
“Ini bukan donasi atau hibah, tapi sebagai wujud persaudaraan, saling bekerja sama untuk menerapkan teknologi sederhana pada masyarakat. Tujuan melakukan kegiatan akademik adalah untuk menjawab persoalan kemanusiaan,” paparnya.
Ia pun mengapresiasi keterlibatan warga desa dalam merawat dan memanfaatkan sistem EWS sebagai salah satu sarana untuk membangun kapasitas mereka dalam penanggulangan bencana. Hal ini menunjukkan bahwa misi UGM dalam memberdayakan masyarakat telah tercapai.
“Salah satu tolok ukur keberhasilan adalah bila karya ini, begitu diterapkan di lokasi, masyarakat bisa bekerja dan kami tinggal diam saja. Kalau kami masih banyak bicara berarti masyarakat belum paham. Perlu disyukuri bahwa masyarakat benar-benar berdaya memanfaatkan seluruh sistem,” jelasnya.
Dwikorita juga menjelaskan bahwa Landslide EWS karya UGM ini sebelumnya telah berhasil lolos untuk diproses lanjut sebagai standar rujukan dunia (ISO). Dengan demikian, nantinya seluruh produk industri internasional untuk Landslide Early Warning System harus merujuk ke sistem dan teknologi karya UGM ini. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)