Nalar yang memuat aturan-aturan dan hukum berpikir yang ditentukan dan dipaksakan secara tidak sadar dan dijadikan pegangan dalam berargumentasi (istidlal), terasa sangat kuat menghegemonik peradaban Islam. Akibatnya, nalar terbelenggu dan terbatas cara pandangnya atas dunia (world view) terhadap sosial dan lingkungan sekitarnya.
Mohammad Anas, dosen Pancasila dan Filsafat Ilmu, Universitas Brawijaya, mengatakan kuasa nalar terbentuk (al-‘aql al-mukawwan) menentukan cara memahami, menafsirkan teks keagaamaan, bahkan dalam menentukan cara pandang (world view) umat Islam. Nalar ini diyakini sebagai kebenaran ‘mutlak’ dan mempunyai otoritas yang tinggi.
“Kritik-kritik yang dilontarkan, baik kritik nalar maupun kritik teks, sengaja diabaikan begitu saja, lantaran dianggap mengganggu keberagaman, bahkan keyakinan teologis yang telah mapan selama ini,” ujar Moh Anas, di Fakultas Filsafat UGM, Senin (10/9) saat menempuh Ujian Doktor.
Moh Anas mengungkapkan melalui epistemologi Michel Foucault, pemikiran Jabiri, khususnya menyangkut proyek kritik nalar maka dapat dipetakan dalam tiga gagasan besar, yaitu arkeologi dan genealogi pengetahuan, episteme dan ketidaksadaran kognitif serta diskursus terpinggirkan dan teks yang tidak terkatakan. Hasil penelitian menunjukkan kritik nalar adalah sebuah kritik yang menelusuri dan berusaha menemukan ‘prinsip dasar’ atau episteme pada setiap periode sejarah tertentu.
“Jabiri melakukan kritik dekonstruktif dengan menunjukkan cara-cara dan syarat-syarat sebuah nalar beroperasi dalam memproduksi pengetahuan,” ungkap Moh Anas saat mempertahankan disertasi Kritik Nalar M. Abid Al-Jabiri Dalam Perspektif Epistemologi Michel Foulautt: Kontribusi Metodologi Bagi Bangunan Nalar Indonesia-Islam.
Ironisnya, kata Moh Anas, cara kerja nalar dalam memproduksi pengetahuan telah didominasi oleh episteme tertentu sehingga hasil kerja nalar hanya bersifat pengulangan serta ahistoris dalam konteks kekinian. Penelusuran sistem pengetahuan tersebut tidak an sich berkutat pada syarat-syarat keabsahan pengetahuan semata, dimana Jabiri menunjukkan ada relasi kuasa-pengetahuan yang ikut mewarnai terbentuknya pengetahuan dan berakibat tersingkirnya pengetahuan lain di luar episteme-nya.
“Dalam konteks inilah, pengetahuan Arab-Islam seringkali disebut ‘politik-pengetahuan’ atau didominasi oleh peradaban politik daripada peradaban ilmiah,” paparnya.
Karena itu, transmisi pengetahuan Arab-Indonesia yang terbentuk tersebut dapat ditemukan relevansinya dalam konteks Islam di Indonesia. Dimana persekutuan episteme buyani-irfani menyingkirkan burhani terjadi di era awal pembentukan pengetahuan (al-maurust al-qodim), baik di era local wisdom dengan nilai Islam hingga era pasca kolonial. (Humas UGM/ Agung)