Bencana buatan manusia yang terbesar di Indonesia terjadi pada 29 Mei 2006 ketika semburan lumpur panas tiba-tiba muncul ke permukaan. Hingga saat ini, semburan lumpur panas masih berlanjut dan merendam hingga 16 desa, memaksa sekitar 50.000 warga untuk mengungsi dari rumah mereka. Dalam kasus ini, bencana yang terjadi memunculkan ekspresi fatalistik agama pada masyarakat yang menjadi korban
“Dalam situasi struktural keberdayaan dari lumpur Lapindo, ekspresi kepasrahan dari para korban Lapindo kepada Tuhan banyak ditemukan. Dalam konteks korban, kepasrahan kepada Tuhan adalah pilihan strategi coping agar tetap kuat dalam situasi ketidakberdayaan struktural,” ujar dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Fuad Faizi, saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Selasa (18/10) di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM.
Dalam disertasinya, Fuad mengamati bagaimana persepsi agama menentukan respons dalam konteks pemulihan lumpur Lapindo dalam kerangka kerentanan (vulnerability) serta kelentingan (resilience). Dalam konteks bencana, ada perbedaan pandangan berhubungan dengan bentuk persepsi fatalistik agama terhadap bencana. Di satu sisi, hal itu dianggap akan menyebabkan respons pasif dan, pada gilirannya, akan meningkatkan kerentanan. Di sisi lain, di tingkat pribadi, keyakinan fatalistik seperti gaya menunda dan persepsi bahwa Allah mengendalikan semua dianggap menguntungkan karena bisa mengurangi stres dan kecemasan serta mempertahankan keberfungsian personal, terutama dalam situasi di mana tidak ada apa-apa atau sangat sedikit yang orang bisa lakukan.
“Meskipun kepasrahan fatalistik tidak memecahkan masalah kerentanan mereka secara nyata, tapi setidaknya itu dapat mencegah efek psikologis menuju fase lanjut yang lebih berat yang hanya akan memperburuk situasi ketidakberdayaan mereka,” jelasnya.
Berbeda dari teori fatalistik yang menyatakan bahwa agama mendorong korban untuk melakukan sedikit hal untuk melindungi diri atau memulihkan diri dari bencana, penelitian yang dilakukan Fuad menunjukkan bahwa korban melakukan segala sesuatu yang mereka bisa, sampai mereka menemukan diri mereka terjebak dalam kebuntuan dan frustasi. Dalam kasus Lapindo, ia menjelaskan, justru pemerintahlah yang menjadi kontributor utama terhadap kerentanan mereka.
“Pemerintah Indonesia tidak menyebabkan luapan, tapi respons yang tidak jelas itu telah menciptakan serangkaian kebuntuan yang melemahkan korban dan orang-orang yang tinggal di daerah rawan. Hal ini tidak mengherankan bahwa korban mengangkat suara mereka kepada Allah,” kata Fuad.
Fuad menekankan bahwa di negara seperti Indonesia, kemampuan untuk memahami peran agama untuk mendukung kapasitas resilience sangat diperlukan, dan pendekatan berbasis agama penting untuk diintegrasikan dalam merespons dampak bencana. Ia mengakui bahwa sikap agama yang sama dan mengandalkan pada kepasrahan dapat memberikan manfaat bagi Lapindo dan pemerintah. Dalam situasi di mana pemerintah tidak memberikan kontribusi positif sehingga menciptakan situasi yang tidak kondusif dan rentan untuk hak dan keselamatan korban, faktor Tuhan menjadi alternatif yang lebih efektif dalam meningkatkan resilience korban.
“Kepasrahan fatalistik kepada Tuhan harus dilihat lebih sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Dengan kata lain, saya berpikir bahwa kepasrahan kepada Allah harus dikelola sebagai modal sosial dari masyarakat agama, bukan sebagai masalah sosial yang harus dihilangkan,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)