UGM mewisuda sebanyak 1.633 lulusan pascasarjana terdiri dari 1.499 master, 83 doktor dan 51 spesialis. Masa studi rata-rata untuk program magister adalah 2 tahun 9 bulan, program spesialis 4 tahun 6 bulan, dan program doktor 5 tahun 11 bulan. Waktu studi tersingkat untuk program magister diraih oleh Penny Kurnia Putri dari Prodi S2 Ilmu Hubungan Internasional Fisipol yang lulus dalam waktu 1 tahun 1 bulan. Untuk jenjang spesialis, masa studi tersingkat diraih oleh Fransiska dari Prodi Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi, yang menyelesaikan studi dalam waktu 2 tahun 20 hari. Sementara untuk Program doktor diraih oleh Yohanes Martono dari Prodi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi, yang meraih gelar doktor dalam waktu 2 tahun 10 bulan 26 hari.
Lulusan termuda dari program magister diraih Indri Claudia Magdalena Marpaung dari Prodi S2 Teknik Industri yang lulus pada usia 21 tahun 6 bulan 10 hari. Selanjutnya, untuk program spesialis, diraih oleh Beryl Nugroho dari Prodi Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi yang menyelesaikan studi pada usia 26 tahun 9 bulan 21 hari.
IPK rata-rata dari program Magister adalah 3,57, program spesialis 3,85 dan program doktor 3,71. IPK tertinggi dari program magister diraih oleh Rizky Muhamad Ramadhan dari Prodi Teknik Mesin, Fakutas Teknik yang meraih IPK 4,00. Untuk jejang spesialis diraih oleh Mohammad Eko Proyogo dari Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran, yang lulus dengan IPK 3,96. Sedangkan untuk program doktor, IPK tertinggi diraih Agus Suprihanto dari Prodi Ilmu Teknik Mesin, Fakultas Teknik yang lulus dengan IPK 4,00.
Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dalam pidato sambutannya mengatakan para alumni UGM diharapkan memberikan kontribusi dalam membantu pemerintah menanggulangi persoalan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Pasalnya, dalam waktu 10 tahun terakhir indeks kesenjangan distribusi pengeluaran atau gini ratio meningkat dari sebelumnya 0,32 menjadi 0,41. “Ketimpangan pendapatan dalam 10 tahun terakhir makin melebar,” kata Rektor dalam upacara wisuda yang berlangsung di Grha Sabha Pramana, Rabu (19/10).
Dikatakan Rektor, angka gini ratio yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat belum tercapai. Rektor menyebutkan negara dengan angka indeks gini ratio tertinggi adalah Namibia dengan nilai indeks 0,7. Sementara negara dengan ketimpangan terendah adalah Denmark dengan nilai gini ratio 0,2. Menurutnya, tidak mudah bagi pemerintah untuk menurunkan nilai indeks gini ratio dikarenakan Indonesia belum sepenuhnya berdaulat dalam menghadapi kekuasaan ekonomi global. “Kita belum sepenuhnya berdaulat dalam menghadapi kekuasaan ekonomi global. Kita juga belum sepenuhnya berdaulat dari segi pangan dan kesehatan,” terangnya.
Meski demikian, imbuh Rektor, berbagai ancaman tersebut jangan sampai melemahkan semangat persatuan dan kesatuan antar anak bangsa. Namun sebaliknya, selalu bersatu dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan di tengah masyarakat. “Saya minta pada alumni UGM mari kita bersatu, tidak memandang suku, agama dan disiplin, mari kita perangi ketimpangan, kemiskinan dan kebodohan karena kita semua memiliki tanggungjawab bersama mengangkat harkat dan derajat saudara kita yang kurang beruntung ini,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)