RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memiliki terobosan-terobosan untuk perlindungan korban. Karena itu, DPR perlu segera membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan yang beranggotakan 115 lembaga pengada layanan dan tersebar di 33 provinsi di Indonesia menyelenggarakan diskusi pakar yang secara khusus membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bertajuk “Konsultasi Pakar tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, diskusi yang berlangsung di FH UGM, Rabu (19/10) bertujuan memberi masukan secara substansi guna menyokong agar RUU yang diusulkan oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan menjadi lebih sempurna. Diskusi dihadiri 50 peserta terdiri dari akademisi, aparat penegak hukum dan pendamping korban.
Diskusi diawali dengan pemaparan arti penting keberadaan RUU oleh Wariyatun (FPL) dan Sri Nurherwati (Komnas Perempuan). Dilanjutkan pemaparan tentang isi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilakukan oleh Sri Wiyanti Eddyono, SH. LLM, PhD, dosen FH UGM dan anggota tim finalisasi RUU, dan disambung dua Guru Besar Hukum Pidana FH UGM, Prof. Marcus Priyo Gunarto, dan Prof. Eddy O. Hiarej serta pembahas RUU oleh Dr. Supriyadi.
Sri Nurherwati dari Komnas Perempuan mengungkapkan dukungan terhadap keberadaan RUU berdasar pada pandangan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan yang sangat serius serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
“Oleh karena itu, harus diatur secara komperhensif dalam sistem hukum Indonesia. Karena berbagai peristiwa kekerasan seksual terus menerus terjadi,” kata Sri Nurherwati.
Bahkan, berbagai bentuk kekerasan seksual semakin meluas menyerang setiap orang terutama kepada anak dan perempuan dalam segala usia. Berbagai peristiwa kekerasan seksual tidak hanya di tempat-tempat publik tetapi juga di rumah tangga.
Data Komnas Perempuan tahun 2012 menyebut kasus kekerasan seksual yang dilaporkan meningkat 181% dari tahun sebelumnya. Sedangkan data Komnas Perempuan tahun 2013, 2014 dan 2015 menyebut dalam kurun waktu 3 tahun terakhir kasus kekerasan seksual yang dilaporkan rata-rata berjumlah 298.224 kasus setiap tahun.
“Penderitaan fisik dan psikologis yang dialami korban dan keluarganya sangat berat. Dari pengalaman para korban, keluarga dan pendamping korban, ditemukan bahwa korban sangat sulit mengakses layanan medis, psikologis, bantuan hukum, rumah aman, pemberdayaan ekonomi, rehabilitasi dan reintegrasi sosial,” tutur Sri Nurherwati.
Sebaliknya, tandas Sri Nurherwati, mereka justru sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan stigma. Catatan Forum Pengada Layanan tahun 2015 mencatat berbagai diskriminasi dan stigma itu seperti dikeluarkan dari sekolah dan tempat kerja dan dikucilkan masyarakat hingga dikawinkan dengan pelaku.
Sri Wiyanti Eddyono, SH. LLM, PhD, dosen FH UGM dan anggota tim finalisasi RUU, menambahkan secara yuridis peraturan perundangan yang ada seperti KUH Pidana, KUHAP, UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak masih sangat terbatas dalam menjamin semua jenis kekerasan seksual yang dapat dipidanakan. KUHP hanya mengatur beberapa jenis kekerasan seksual seperti perkosaan dan pencabulan dengan rumusan yang tidak memadai.
Selain itu, ketentuan pembuktian sangat sulit untuk membuktikan adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi. Sebab, hukum acara relatif tidak berorientasi kepada perlindungan hak korban. Kuatnya stereotip dan stigma aparat penegak hukum kepada korban dengan meletakkan kesalahan utamanya ada pada korban (blaming the victim).
“Pandangan yang cenderung meragukan kredibilitas keterangan korban memengaruhi terhadap adanya vonis pengadilan yang rendah. Dengan demikian maka telah terjadi ketidaklengkapan hukum dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Sri Wiyanti Eddyono, diperlukan suatu pembaharuan hukum yang diwujudkan secara menyeluruh, yang meliputi pengaturan tentang pencegahan terjadinya kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasan seksual dan hak korban. Selain itu, perlu diatur pula terkait pemulihan, hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual, termasuk tentang pembuktian dan pemantauan penghapusan kekerasan seksual serta pemidanaan.
“Hal penting yang harus dilakukan adalah bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang,” paparnya.
Konsultasi dengan pakar ini merupakan bagian dari upaya bersama untuk mendesak DPR memulai pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di tahun 2016. Sebab, RUU ini telah masuk sebagai agenda Program Legislasi Nasional 2016, karena itu diperlukan pengesahan RUU dengan segera.
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, mengatakan RUU ini memang memberikan beban yang besar atau boleh dibilang meminta tanggungjawab yang besar dari negara. Jika menjadi tanggungjawab yang besar dari negara mestinya sudah tidak ada lagi muncul persoalan-persoalan masalah biaya.
“Karena itu, diharapkan sedapat mungkin dalam RUU ini jangan sampai antara pasal yang satu dan pasal yang lain saling bertentangan. Karena itu, sangat rentan sekali terjadi uji materi terhadap RUU ini nantinya,” katanya. (Humas UGM/ Agung)