Dokter praktik swasta tidak dapat dinyatakan bersalah di pengadilan apabila menangani pasien yang menderita Sindrom Stevens Johnson karena tindakan dokter menangani pasien dengan penyakit tersebut umumnya dalam keadaan memaksa (overmacht). Hal itu dikemukan Dokter Fungsional Kanwil Kemenkum Ham DIY, dr. Budiman, SH, LLM., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum UGM, Jumat (21/10).
Disertasinya yang berjudul ‘Pertanggungjawaban Perdata Dokter dengan Pasien Sindrom Stevens Johnson pada Praktik Swasta di Kota Yogyakarta’, Budiman mengatakan tindakan dokter menangani pasien sindrom ini merupakan tindakan memaksa sehingga tidak dapat dipersalahkan apabila digugat oleh si pasien di kemudian hari. “Dokter praktik swasta tidak perlu takut dengan pengobatan yang diberikan kepada pasien jika akhirnya menderita Sindrom Stevens Johnson karena hal itu merupakan overmatch,” katanya.
Ia menambahkan, dokter menurutnya, tidak harus dipertanggungjawabkan secara perdata terhadap pasien yang ditanganinya menderita Sindrom Steven Johnson. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya terhadap 78 dokter praktik swasta di Kota Yogyakarta ditemukan 3 dokter praktik swasta yang mendapat pasien dan menderita Sindrom Stevens Johnson. Namun, kasus medik yang ditangani oleh tiga dokter praktik swasta tersebut ternyata belum memberikan pengobatan atau terapi. “Dokter menerima pasien dengan diagnosa awal sindrom dimana pasien minum obat atas inisiatif diri sendiri,” katanya
Penyebab munculnya Sindrom Stevens Jhonson, menurut Budiman, bisa berbagai faktor walaupum pada umumnya berkaitan dengan respons imun terhadap obat. Namun, penyebab lain bisa berupa infeksi virus, jamur, bakteri, parasit, obat, makanan, dan sebagainya.
Ia mencontohkan kasus sindrom alergi terjadi ketika seorang dokter memberikan obat allopurinol kepada pasien yang menderita asam urat yang berlebihan. Selanjutnya, si pasien mengalami alergi yang hebat dan menderita Sindrom Stevens Johnson. “Setelah itu dokter dianggap melakukan malpraktik atau melakukan tindakan kesalahan medik. Padahal, setiap tindakan medik yang dilakukan oleh dokter baik bersifat diagnostik maupun terapeutik akan selalu mengandung risiko,” terangnya.
Meski demikian, kata Budiman, komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien akan membantu dalam proses pengobatan. Komunikasi yang baik dapat meminimalkan kesalahan dalam pengobatan pasien. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya sebagai manusia biasa yang penuh kekurangan dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh riosiko. “Namun, dokter juga harus senantiasa melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional dan sesuai standar pelayanan medik yang baik,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)