Serat Centhini, salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru yang kerap disebut sebagai Ensiklopedi Budaya Jawa merupakan buku yang begitu kaya dengan perincian situasi dan peristiwa. Namun, Serat Centhini bukan sekadar kisah fiksi biasa. Ceritanya mengandung nilai-nilai filsafat yang mendalam dan bisa dikaitkan dengan kehidupan riil para pembacanya
“Sangat dalam kisah Centhini ini mengangkat tentang filsafat,” ujar Elizabeth D. Inandiak dalam diskusi bulanan Laboratorium Filsafat Nusantara (Lafinus), Jumat (21/10) di Fakultas Filsafat UGM.
Penulis berkebangsaan Perancis yang menuliskan kembali kisah Centhini melalui buku berjudul Centhini, Kekasih yang Tersembunyi ini mengagumi kisah Centhini dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai suatu kekayaan khasanah filsafat Timur yang khas.
“Saya selalu diberitahukan oleh guru filsafat saya di Perancis bahwa filsafat cuma ada di barat. Yang ada di timur bukan filsafat karena tercampur dengan agama dan kepercayaan. Saya dibesarkan dengan kepercayaan itu sampai saya ke Indonesia dan saya menemukan bahwa ada filsafat juga di timur yang mungkin lebih dalam lagi,” ungkapnya.
Ia membandingkan pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam Serat Centhini dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi inti dari filsafat Barat. Jika filsafat barat bertanya-tanya mengenai arti kehidupan, dalam Serat Centhini terdapat pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih mendalam.
“Filsafat barat mungkin bertanya-tanya arti hidup itu apa. Tapi dari Serat Centhini ada pertanyaan yang lain, bukan hanya ‘apa arti kehidupan’, ‘darimana kita berasal’, dan ‘ke mana kita akan pergi’, tapi juga ‘apa itu kenyataan atau kesunyataan’,” kata Elizabeth.
Dalam diskusi ini ia mengulas konsep kenyataan atau kesunyataan yang tersirat di balik alegori tari topeng, kelir wayang, dan ilmu sulap yang menjadi bagian dari kisah tersebut. Ketiga alegori itu, Elizabeth menjelaskan, memang bisa dibaca sebagai hiburan saja. Tetapi baginya, untuk banyak hal termasuk seksualitas, Serat Centhini mempunyai maksud yang lebih dalam untuk memberikan makna yang lebih jeli. Dan ini menjadi tanggung jawab dari para pembaca untuk memahami arti yang lebih dalam dari Serat Centhini.
Ia mengangkat beberapa bagian dari kisah Centhini yang ia pandang menarik, misalnya mengenai tokoh Cebolang yang digambarkan sebagai sosok remaja nakal yang pergi mengembara untuk mencari jati diri.
“Di sini Serat Centhini bisa dibaca sebagai buku yang bebas, liar, atau bisa dibaca bagaimana tokoh-tokoh seperti Cebolang mencari jati diri dalam kenakalan. Saya pikir itu sangat luar biasa karena jarang sekali ada karya adiluhung seperti Serat Centhini yang bisa menggambarkan kelana seorang remaja dari masyarakat biasa,” ujarnya.
Selain itu, kisah ini juga menyajikan pemandangan yang menarik mengenai bagaimana nilai-nilai filsafat yang bernilai tinggi itu keluar dari tokoh-tokoh yang mungkin dianggap remeh atau di tempat-tempat yang dianggap kurang layak. Hal ini, menurutnya, memberikan makna bahwa nilai-nilai filsafat bukan sekadar menjadi suatu pengetahuan yang dipelajari oleh orang-orang berilmu di universitas, tetapi untuk dihidupi di tengah-tengah masyarakat.
“Yang penting bagaimana filsafat digerakkan di dalam kehidupan. Filsafat bisa dibahas dalam universitas, tapi filsafat adalah sesuatu yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari juga. Dan Serat Centhini membuktikan hal itu,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)