Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A mengatakan masih terdapat kesenjangan dalam pengetahuan tentang konteks sosial, kebutuhan pasien, prioritas dan harapan keluarga serta masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan kesehatan masyarakat. Untuk itu, diperlukan suatu definisi dan tujuan baru dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang baik, serta mengembangkan peraturan dan implementasi berdasarkan konsep.
“Dengan mengembangkan peraturan dan implementasi tersebut, maka penduduk miskin diharapkan menggunakan pelayanan kesehatan yang diberikan secara optimal,” ujar Retna Siwi Padmawati, di Gedung Radiopoetro, Fakultas Kedokteran UGM, Sabtu (22/10).
Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka Program Doktor. Mempertahankan disertasi Health Seeking Behaviour and Medical Pluralism in Poor Urban, Neighborhood in Yogyakarta Indonesia, promovenda didampingi promotor Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dan ko-promotor Prof. Jens Seeberg, Ph.D dari Aarhus University.
Retna Siwi memaparkan dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan ditemukan OTC dan Puskesman banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, tetapi bila memungkinkan mereka akan berkonsultasi kepada dokter praktik swasta dengan menggunakan out-of-pocket (OOP) sehingga pluralisme medis dipraktikkan sebagian besar anggota keluarga dengan konsep “cocok”.
“Rumah tangga pada dasarnya memiliki strategi sendiri untuk mengatasi penyakit mereka, yang disesuaikan dengan kualitas perawatan yang tersedia, kondisi keuangan, dan penggunaan asuransi kesehatan masyarakat,” paparnya.
Dituturkannya, sebanyak 40 – 65 persen masyarakat, baik pada masa sebelum dan saat Askeskin, Jamkesmas/ Jamkesda maupun JKN membeli obat di warung. Sementara itu, Puskesmas selalu dikunjungi di hampir seluruh periode, meskipun klinik atau dokter swasta dikonsultasikan sebelum dan selama periode Askekin sebesar 21 – 43 persen. Angka ini menurun tajam selama Jamkesmas 3 -6 persen dan mulai meningkat pada awal JKN sebesar 7,5 persen.
“Hasil survei menunjukkan rumah tangga menghasbiskan sebagian kecil dari pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Selama periode JKN porsi tersebut meningkat menjadi 25 persen, sedangkan asuransi baru dimanfaatkan skitar 25 persen oleh penduduk miskin,” tutur Retna.
Retna mengungkapkan perilaku pencari kesehatan suatu masyarakat mencerminkan bagaimana pelayanan kesehatan dimanfaatkan, dan pemanfaatan sumber daya kesehatan mencerminkan efektivitas pelayanan kesehatan. Seiring dengan perubahan lanskap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh perubahan skema asuransi kesehatan pemerintah dan semakin banyaknya pilihan sumber pelayanan kesehatan yang tersedia, maka sangat penting untuk melihat kembali pengambilan keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah tangga dan masyarakat.
“Karena itu, penelitian ini mengekplorasi perilaku pencarian kesehatan dan pluralisme medis pada rumah tangga miskin di perkotaan di Yogyakarta, dalam konteks skema asuransi kesehatan yang berbeda,” tandasnya. (Humas UGM/ Agung)