Rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah No.53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit yang akan dilakukan pemerintah masih menjadi perdebatan. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais, meminta pemerintah untuk menunda revisi kedua PP tersebut karena bertentangan dengan UU. No 36/1999 tentang Telekomunikasi.
“Tidak lagi revisi, tetapi kita dorong adanya UU Telekomunikasi baru termasuk konvergensi,” katanya dalam seminar “Liberalisasi Telekomunikasi: Dominasi Investasi Asing atau Kemandirian Ekonomi”, Senin (24/10) di FISIPOL UGM.
Menurutnya, revisi PP (RPP) telekomunikasi tersebut mengarah pada upaya liberalisasi yang akan merugikan negara dan memberikan keuntunggan yang besar pada operator asing. Apabila revisi peraturan pemerintah ini tidak disertai dengan koreksi akan memunculkan kebijakan yang ultra liberal.
Sementara itu, Executive Director Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menyebutkan bahwa rencana penurunan tarif interkoneksi dan penetapan network sharing bisa menimbulkan kerugian negara. Kompetisi yang tidak sehat akan menimbulkan penurunan pendapatan (revenue) industri sehingga berdampak pada penurunan pendapatan negara.
“Penurunan revenue industri telekomunikasi nasional diestimasikan sebesar Rp14 triliun,” tuturnya.
Hal tersebut akan menyebabkan penurunan kontribusi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dperkirakan sekitar 245 miliar (1,75%x14 trilun). Selain itu juga akan menimbulkan penuirunan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp. 1,4 triliun (1,0%x14 triliun) dan pajak penghasilan (PPh) sekitar Rp. 3,5 triliun (25%x14 triliun).
Lebih lanjut Yustinus menyampaikan dengan struktur kepemilikan operator yang dimiliki asing rawan melahirkan praktik transfer pricing atau pergeseran laba ke luar negeri. Dengan begitu, Indonesia tidak menikmati keuntungan sehingga berpotensi menurukan penerimaan pajak.
Karenanya, Yustinus menekankan agar revisi PP sebaiknya ditujukan untuk menggerakan sektor strategis industri telekomunikasi dalam negeri. Tidak hanya itu, revisi dilakukan dengan penerapan skema berbagi jarinfan aktif yang diberlakukan pada pembangunan jaringan telekomunikasi baru di wilayah pedesaan, jarang penduduk, atau non komersial untuk mengakselerasi target 100 % cakupan broadband Indonesia. RPP memberlakukan pembatasan waktu penerapan skema berbagi jaringan aktif dan kewajiban lainnya bagi operator penyewa jaringan serta memberlakukan kebijakan kompensasi bagi operator yang sudah membangun infrastruktur dengan menggunakan dasar perhitungan yang jelas.
“Sebaiknya Kominfo menetapkan harga interkoneksi secara asimetris berbasis ongkos pemulihan dan coverage masing-masing operator secara berimbang (fair calculation),” paparnya.
Pengamat Politik UGM, Dr. Arie Sujito, mengatakan revisi PP telekomunikasi ini tidak sesuai dengan Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi. Menurutnya, upaya pemerintah untuk mewujudkan Nawacita untuk memperkuat Indonesia dari pinggiran dan memperkuat industri nasional semakin terancam dengan rencana revisi PP no. 52 dan 53 tahun 2000 ini.
“Revisi ini cenderung pro asing, melemahkan Nawacita dan merugikan kepentingan industri telekomunikasi nasional,” jelasnya.
Arie menegaskan revisi kebijakan seharusnya diorientasikan pada kebutuhan membangun kemandirian bangsa. Selain itu, memperkuat industri telekomunikasi nasional serta menunjukkan komitmen pelayanan populis dengan arah demokrasi kerakyatan dan kedaulatan informasi.
Tidak hanya itu, Arie meminta pemerintah untuk melibatkan publik dalam pembuatan kebijakan dan perundangan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Rakyat tidak hanya dijadikan sebagai objek, tetapi juga subjek dalam perumusan kebijakan.
“Ini menjadi ujian untuk membuktikan komitmen pemerintahan Jokowi agar tidak ditunggangi kepentingan ekonomi asing dalam tajuk liberalisasi ekonomi,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)