Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan kondisi topografi yang cukup sulit serta tingkat penggunaan kayu bakar yang cukup tinggi. Jumlah rumah tangga pengguna kayu bakar di daerah ini mencapai 81, 26 persen atau 862.047 rumah tangga.
Kota Kupang sebagai salah satu wilayah di NTT memiliki jumlah industri yang cukup tinggi. Hal tersebut tercermin dari jumlah unit industri menengah dan besar yang mencapai 14 unit dan 902 unit industri kecil dan rumah tangga. Belum lagi, beberapa tipe industri seperti industri makanan, minuman, tekstil, barang galian bukan logam dan barang galian logam bukan mesin yang menggunakan kayu bakar dalam proses industrinya.
“Kabupaten Kupang merupakan wilayah penyuplai kayu bakar dan selama ini belum pernah dilakukan kajian, menghitung konsumsi dan produksi kayu bakar di wilayah tersebut,” ujar Ermi Erene Koeslulat, S.Si, di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Selasa (25/10).
Efek belum pernah dilakukannya kajian dan penghitungan, maka tidak diketahui angka kejadian surplus atau defisit kayu bakar yang diakibatkan interaksi Kota dan Kabupaten Kupang.
Saat mengikuti ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kehutanan UGM, Ermi Erene mengatakan pemenuhan kebutuhan kayu bakar memerlukan upaya penanaman di lahan-lahan kritis, kurang atau tidak produktif, untuk menekan laju perluasan lahan kritis setiap tahunnya. Selain itu, penanaman sekaligus sebagai upaya untuk menyediakan pasokan kebutuhan energi masyarakat yang semakin lama semakin meningkat.
“Yang perlu diketahui adalah luas lahan yang berpotensi ditanami kayu bakar di Kupang. Bagaimanapun pembangunan hutan untuk pemenuhan energi memerlukan rencana pengelolaan,”katanya saat mempertahankan disertasi “Karakteristik Energi Delapan Jenis Pohon Dari Kabupaten Kupang, Sebagai Dasar Perencanaan Pengelolaan Energi Biomasa”.
Menurut Ermi Erene, salah satu kriteria penting dalam pembangunan hutan untuk tujuan energi adalah terkait penentuan jenis pohon yang akan dikembangkan. Artinya, jenis pohon dengan kadar air biomasa rendah, produksi biomasa kering maksimum, pertumbuhan volume yang tinggi dan berat jenis yang tinggi menjadi kriteria yang perlu dipertimbangkan.
Selain itu, karakteristik energi kayu bakar seperti kandungan panas (nilai kalor) dan sifat pembakaran, seperti kemudahan pembakaran, residu dan lamanya kayu bakar habis terbakar menjadi kriteria penting untuk menentukan jenis pohon yang terbaik. Nantinya, pemilihan jenis-jenis terbaik dapat dilakukan melalui perbandingan kriteria-kriteria tersebut dengan melakukan penilaian terhadap tingkat kepentingan kriteria-kriteria tersebut.
“Salah satu metode yang digunakan untuk melakukan perbandingan tersebut adalah analisis hierarki berjenjang, analytical Hierarchy Process. Dimana salah tujuan dari penelitian dalam disertasi ini adalah menemukan jenis pohon dari kelas diameter terbaik berdasarkan karakteristik energinya, serta menjelaskan hubungannya berdasarkan sifat fisika kimia,” tuturnya.
Dari hasil penelitiannya, Ermi berkesimpulan potensi kayu bakar di Kabupaten Kupang sebesar 38.059.350 kg/th atau 38 ribu ton/th, sedangkan konsumsi kayu bakar oleh rumah tangga di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang maupun industri di Kabupaten Kupang mencapai 148,65 juta ton sehingga terjadi defisit kayu bakar sebesar 148,41 juta ton. Sementara berdasarkan perbandingan kriteria, yaitu pertumbuhan diameter pohon, produktivitas biomasa, indeks kayu bakar (FVI), kadar zat terbang dan karbon terikat diperoleh kayu bakar yang berkualitas adalah nilotika.
“Oleh karena itu, pemanfaatan Nilotika perlu ditingkatkan, mengingat potensinya cukup besar di Kabupaten Kupang. Prioritas lain yang perlu dikembangkan berturut-turut adalah Kasuarina, Turi, Takah, Lamtoro, Kesambi, Gmelia dan Kayu Merah,”imbuh pegawai di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kupang tersebut. (Humas UGM/ Agung)