Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil, menyebutkan hingga tahun 2016 baru 44 persen tanah di Indonesia yang sudah terdaftar dan memiliki sertifikat. Artinya, masih ada sebanyak 56 persen tanah yang belum tersertifikasi.
“Karenanya, kita berupaya melakukan percepatan sertifikasi tanah 5 juta bidang per tahun sehingga pada 2025 mendatang semua tanah sudah tersertifikasi seluruhnya,” katanya, Kamis (27/10) saat menjadi pembicara kunci dalam The 3rd Coferenceon Geospatial Information Science and Engineering (CGISE) dan Forum IlmiahTahunaan Ikatan Surveyor Indonesia (FIT-SIS) 2016 di Sahid Rich Hotel Yogyakarta.
Dalam kegiatan yang diselengarakan oleh Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik UGM bekerjasama dengan Ikatan Surveyor Indonesia tersebut, Sofyan menyampaikan bahwa pihaknya menargetkan sertifikasi hingga 25 juta bidang tanah pada 2019. Dimulai pada tahun 2017 dengan menargetkan sertifikasi 5-7 juta bidang tanah, kemudian tahun 2018 sebesar 9 juta bidang tanah, dan pada 2019 mencapai 25 juta bidang tanah yang ditargetkan tersertifikasi.
“Penyiapan surveyor atau juru ukur menjadi penting untuk mendukung percepatan sertifikasi ini,” jelasnya.
Sementara hingga saat ini, Indonesia masih kekurangan tenaga surveyor atau juru ukur untuk melakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan tanah. Saat ini, setidaknya terdapat 2.000 surveyor di Indonesia. Dari jumlah tersebut hanya 1.000 surveyor yang dapat aktif turun ke lapangan.
“Untuk mengatasi keterbatasan sumber daya manusia tersebut kita akan rekrut surveyor independen berlisensi. Kita akan ambil sekitar 1.000-2.000 surveyor profesional,” terang Sofyan.
Saat ini, Kementrian ATR telah menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) sebagai payung hukum dalam pengangkatan surveyor independen ini. Dengan demikian, nantinya, mereka dapat bekerja untuk melaksanakan pengukuran dan pemetaan sehingga dapat mendukung target pemerintah dalam percepatan pembuatan peta desa, peta rencana detail tata ruang, serta pembangunan infrastruktur.
Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., berharap kebijakan satu peta dalam rangka mendorong percepatan pembuatan peta desa, peta rencana detail tata ruang dan pembangunan infrastruktur bisa segera diimplementasikan. Hal tersebut penting dilaksanakan untuk mewujudkan ketepatan, akurasi, validasi, dan meminimalkan inefisiensi dalam pembuatan produk peta.
Dwikorita mengatakan rendahnya akurasi dan ketelitian peta tata ruang masih menjadi persoalan serius dalam pembuatan peta di Indonesia. Hal ini terjadi akibat pengukuran dan pemetaan yang tidak standar dan beragamnya peta dasar yang digunakan.
“Banyak institusi yang membuat peta dasar untuk kepentingannya masing-masing. Padahal, semestinya sesuai undang-undang ini menjadi kewenangan BIG,” tuturnya.
Hal ini memunculkan banyak peta yang tidak terstandar. Diwkorita mencontohkan untuk peta bahaya Merapi, banyak institusi yang mengeluarkan peta Merapi dengan posisi yang tidak sama sehingga memengaruhi upaya mitigasi bencana.
“Dalam menentukan Merapi letaknya bisa geser tergantung dari institusi mana yang mengeluarkan peta dan ini sangat berdampak pada upaya mitigasi bencana,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ditegaskan kembali oleh Dwikorita, UGM mendukung sepenuhnya penegakan kebijakan satu peta. Dengan begitu, dapat mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan kemandirian bangsa.
Sementara itu, Ketua Ikatan Surveyor Indonesia, Virgo Eresta Jaya, mendorong perguruan tinggi menyiapkan tenaga surveyor profesional dan bersertifikasi. Langkah tersebut diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengatasi kekurangan surveyor dalam pengukuran dan pemetaan tanah di Indoensia.
“Peran aktif kampus diharapkan mampu mendukung percepatan sertifikasi tanah secara signifikan,”katanya. (Humas UGM/Ika;foto: Firsto)