Usia menikah yang baik menurut BKKBN adalah 21 tahun bagi perempuan dan usia 25 tahun bagi laki-laki. Pernikahan anak dibawah umur 18 tahun wajib dicegah karena rawan dan punya dampak sosial dan psikologis. Perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berpotensi keguguran, anak dan ibu rentan terhadap penyakit, kualitas anak yang dilahirkan rendah, gizi buruk dan putus Sekolah. Di DIY, kasus pernikahan dini paling banyak terjadi di Kabupaten Gunung Kidul 11,29%, diikuti Kota Yogyakarta 7,79%, Bantul 7,30%, Kulonprogo 7,28 % dan Sleman 5,07%.
Sosiolog UGM, Prof. Dr. Partini, S.U., menuturkan penyebab terjadinya pernikahan dini karena rendahnya tingkat pendidikan antar kedua pasangan, tuntutan ekonomi, sistem nilai budaya, pernikahan yang sudah diatur dan seks bebas. Selain itu, kata Partini, sebagian masyarakat masih ada yang menganggap nikah dini sebagai faktor keturunan, padahal bukan.”Nikah dini sebenarnya hasil dari pola pikir yang kurang rasional. Nikah dini dianggap sebagai jalan keluar dari persoalan hidup, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Bahkan, nikah dini dianggap jalan keluar dari pergaulan bebas remaja,” kata Partini dalam Pelatihan Peningkatan Kesadaran Terhadap Kekerasan Seksual Sebagai Upaya Pencegahan Pernikahan Anak di Kalangan Siswa SMP di Ruang Sasana Wiyata, Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DIKPORA) DIY, Kamis (27/10).
Guru Besar Fisipol UGM ini menambahkan, dampak lain yang bisa ditimbulkan dari pernikahan dini meliputi risiko menurunnya kesehatan reproduksi, beban ekonomi yang makin bertambah berat, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan bunuh diri. Partini mengatakan pernikahan dini harus dicegah dengan meningkatkan kesadaran laki-laki dan perempuan sejak ia masih remaja. Menurutnya, pada usia remaja atau usia SMP, merupakan masa transisi dimana sang anak suka meniru dan suka mencoba pada hal-hal yang baru. Umumnya, anak remaja masih tergantung pada lingkungan sosialnya dan anak belum mampu mandiri tapi sudah ingin dilepas oleh orang tuanya untuk belajar mandiri.
Untuk mencegah terjadinya pernikahan dini di kalangan siswa SMP di DIY, ia pun menyambut baik kegiatan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM untuk melatih kader di kalangan anak siswa SMP di Yogyakarta dan mengedukasi mereka agar sadar akan bahaya yangg mengancam dirinya.
Peneliti PSSAT UGM, Fatkurrohman, S,IP.,M.Si., mengatakan pernikahan anak merupakan salah satu masalah bersama yang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi kedua setelah Kamboja dalam menyumbang angka pernikahan anak. Dalam upaya pencegahan pernikahan anak, katanya, anak perlu diberi pemahaman untuk mengenali, memahami, dan berani membela dirinya terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, dan penyadaran akan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. “Kelompok rentan tersebut tidak hanya anak perempuan tetapi juga pada anak laki-laki yang perlu diberi pemahaman terhadap kekerasan seksual sehingga mereka tidak menjadi korban dan pelaku,” katanya. (Humas UGM/Gusti Greheson)