Dialog bulanan Teras Kita kerja sama antara Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) dan Kompas kembali diadakan Sabtu (29/10) di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jakarta. Mengambil momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda sekaligus menandai 2 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, dialog ini menjadi momen bagi para akademisi dan praktisi untuk mengikrarkan sumpah demi kemajuan bangsa.
“Sumpah pemuda jadi tonggak penting dalam sejarah karena peristiwa ini menjadi konsensus bersama anak bangsa yang mengesampingkan kesukuan, perbedaan agama, dan bahasa yang mereka miliki untuk menjadi Indonesia. Itu menjadi spirit bangsa yang harus dilanjutkan, dan ke depan kita juga harus memiliki sumpah yang baru, yaitu sumpah kemajuan,” ujar Sekretaris Jenderal KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana.
Acara diawali dengan narasi kisah Mohamad Yamin yang menjadi salah satu penggerak Sumpah Pemuda oleh pengamat politik yang juga penasihat politik Presiden, Sukardi Rinakit, bersama musisi Jubing Kristianto, Edo Kondologit dan Endah Laras. Dialog kali ini menghadirkan 4 orang pakar dari 4 universitas besar di Indonesia yang masing-masing menakar kinerja pemerintah dalam bidang yang menjadi keahlian masing-masing. Mereka adalah Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D, Ketua Ikatan Alumni ITB, Ridwan Djamaluddin, Ketua Himpunan Alumni IPB, Bambang Hendroyono, serta Ketua Ikatan Alumni UI, Arief Budhy Hardono.
Dalam bidang manajemen bencana, Rektor UGM menjelaskan bahwa prestasi pemerintahan Jokowi tampak cukup menonjol dengan adanya berbagai perubahan yang cukup signifikan dalam sistem manajemen bencana, salah satunya dalam penanganan bencana kabut asap yang cukup menjadi sorotan beberapa waktu yang lalu.
“Bencana asap sudah terjadi kira-kira 20 tahun, hanya baru benar-benar teratasi secara tersistem setelah pemerintahan saat ini, salah satunya dengan lahirnya Badan Restorasi Gambut. Sekarang penanganannya menjadi multidimensional dan dilakukan untuk short-term, mid-term, dan long-term,” paparnya.
Meski demikian, ia menambahkan, luasnya lingkup masalah bencana serta keragaman karakter sosial budaya di dalam masyarakat menjadikan program manajemen bencana menjadi lebih menantang. Karena itu, pemerintah perlu bersinergi dengan akademisi untuk menghasilkan riset-riset yang dapat diterapkan dalam program manajemen bencana, bukan hanya untuk mengatasi bencana, tetapi juga untuk mengurangi risiko.
Senada dengan hal itu, para pembicara yang hadir juga menyuarakan semangat yang sama untuk saling bersinergi demi mendukung program-program pemerintah yang ditujukan bagi kepentingan nasional.
“Kita yang disebut komunitas terdidik ini harus menjadi mandor, karena tidak mungkin presiden mengerjakan itu semua sendiri,” tutur Ridwan Djamaluddin.
Dalam diskusi ini turut hadir beberapa tokoh nasional, seperti Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar, serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Sri Adiningsih. Dalam kesempatan ini, mereka turut menyampaikan penilaian terkait hal-hal yang telah berhasil dijalankan oleh pemerintah serta hal-hal yang masih menjadi tantangan dalam waktu mendatang.
“Kalau kita cermati apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah, secara umum berbagai program pemerintah sudah pada jalan yang benar. Tapi perubahan memang bukan hal yang mudah,” ucap Sri Adiningsih.
Untuk mengatasi tantangan di masa mendatang, dukungan tidak hanya dibutuhkan dari para akademisi, tetapi utamanya dari segenap masyarakat Indonesia. Partisipasi masyarakatlah yang menjadi kunci untuk mewujudkan perubahan yang sesungguhnya.
“It takes two to tango. Tidak hanya aparat, masyarakat juga harus mempunyai komitmen. Ini adalah pekerjaan kita bersama,” pungkas Yasonna Laoly. (Humas UGM/Gloria)