Pada awal 2016 lalu, World Bank merilis data yang menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat bencana asap tahun 2015 mencapai 220 Triliyun Rupiah dan menyebabkan sekitar 47 juta orang terpapar asap di Pulau Kalimantan dan Sumatera, serta setidaknya 19 orang dilaporkan meninggal dunia. Tidak hanya itu, kerugian akibat kabut asap di Indonesia juga diderita oleh beberapa negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia. Karenanya, persolan ini tidak hanya menjadi persoalan Indonesia semata, namun telah menjadi persoalan internasional, khususnya di kawasan ASEAN.
Hal ini melatarbelakangi diadakannya Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kebijakan Strategis dalam Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut di Indonesia” oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM yang bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Friedrich Ebert Stiftung, Selasa (1/11) di Jogjakarta Plaza Hotel.
“Bencana asap berdampak tidak sebatas di dalam negeri tetapi juga di negara-negara tetangga. Karena itu, masalah bencana asap di Indonesia sungguh membutuhkan pembahasan yang mendalam dan dianalisa dalam perspektif ke-AsiaTenggara-an, dan tidak sebatas perspektif nasional,” papar Deputi Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana Kemenko PMK, Masmun Yan Mangesa, SE., M.BA.
Ia mengapresiasi penyelenggaraan kegiatan ini oleh PSSAT UGM. Persoalan kabut asap, menurutnya, patut dibahas oleh sebuah pusat studi yang mengkhususkan diri pada regional Asia Tenggara dan di dalamnya termasuk negara-negara tetangga yang turut menerima dampak dari bencana asap.
Sebagai pusat studi yang ditunjuk sebagai pusat unggulan IPTEK-Perguruan Tinggi (PUI-PT) bidang sosial oleh Kemenristek Dikti, PSSAT menyelenggarakan diskusi ini untuk memetakan permasalahan bencana asap yang multiaspek sekaligus mencari solusi alternatif terhadap kompleksitas persoalan bencana asap yang telah terjadi selama belasan tahun di Indonesia.
“Diharapkan melalui FGD ini dapat dibangun kesepahaman para pihak untuk menentukan kebijakan strategis dalam pembangunan manusia dan kebudayaan pada provinsi yang memiliki lahan gambut dan rawan terbakar di Indonesia,” ujar Kepala PSSAT UGM, Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, M.Si.
Hal ini, tegas Hermin, menjadi hal yang penting karena perubahan kebijakan pembangunan yang direkomendasikan pada lahan gambut membutuhkan rekayasa sosial yang komprehensif bagi para pemangku kepentingan, dengan tetap memperhatikan secara berimbang aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Edukatif Departemen Tanah Fakultas Pertanian UGM yang juga menjadi Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut, Prof. Dr. Ir. Azwar Maas, memperkenalkan software Early Warning System for Peatland Fire yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi kondisi lahan gambut di suatu daerah tertentu berdasarkan keadaan biofisik yang dapat diamati, seperti posisi lahan gambut serta lama waktu tidak adanya hujan.
“Program ini dapat dipakai di mana saja dan oleh siapa saja. Saya harap program ini bisa membantu untuk mengidentifikasi kondisi lahan gambut dan cara-cara penanganan dini sebelum terjadi kebakaran lahan,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)