Terinspirasi pekik kaum muda yang mengakui pentingnya bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa yang satu, Social Research Center (SOREC) Departemen Sosiologi FISIPOL UGM menggelar diskusi publik bertajuk “Kaum Muda, Bahasa, dan Politik”, Kamis (3/11) di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Sebagai salah salah satu cara untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda, diskusi ini berupaya untuk memberikan reinterpretasi dan reartikulasi proyek politik kaum muda dalam bingkai kewarganegaraan kaum muda saat ini.
“Generasi milenial atau generasi yang lahir menjelang abad ke-21 adalah generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Karena itu, sangat menarik untuk melihat bagaimana anak muda membayangkan konsep mengenai bangsa,” ujar Ketua Prodi Sosiologi, Dr. Suharko, M.Si.
Reinterpretasi semangat Sumpah Pemuda sebagai sebuah narasi mensyaratkan pentingnya memosisikan sentralitas bahasa di dalam negosiasi makna dan konstruksi identitas kewarganegaraan kaum muda yang terus berlangsung di tengah pertarungan ideologi, produksi pengetahuan dan kepentingan yang tersembunyi dalam politik bahasa. Dalam konteks masa kini, seolah muncul praktik politik bahasa yang terepresentasikan dalam penggunaan kata, penyusunan kalimat, serta cara merepresentasikan kata-kata seperti deradikalisasi, multikulturalisme, atau pribumi versus non-pribumi.
Salah satu pembicara dalam diskusi ini, Muhammad Al Fayyad, menjelaskan bahwa topik ini menjadi menarik karena kaum muda kini tidak lagi menjadi objek pasif yang menjadi sasaran dari kepentingan ekonomi politik. Mereka justru menjadi kalangan yang diperebutkan oleh berbagai pihak sebagai suatu agen reproduksi sosial bagi kepentingan kelas-kelas tertentu.
“Kaum muda sedang dilirik sebagai potensi baru, bukan hanya sebagai konsumen atau objek yang pasif. Ini tidak seperti studi terdahulu yang menempatkan kaum muda sekadar sebagai konsumen dari budaya pop,” jelas esais Islam Bergerak ini.
Karena itu, ia menambahkan, tidaklah mengherankan jika kaum muda kini menjadi sasaran dari kepentingan dan gagasan politik yang disalurkan oleh generasi yang lebih tua melalui apa yang ia sebut sebagai afek.
“Bahasa sebenarnya sekunder hari ini, karena secara faktual yang lebih dominan adalah afek. Siapa yang bisa menguasai afek, bisa menguasai anak muda,” kata Fayyad.
Salah satu hal yang digunakan untuk membentuk afek di antara kaum muda, menurut Fayyad, adalah agama. Agama menjadi irisan kepentingan antara kaum tua dengan kaum muda untuk memunculkan suatu kontinuitas melalui gagasan tradisi. Terkait narasi kebaruan Sumpah Pemuda, keberadaan subjektivitas kaum muda yang sebagian besar dikondisikan oleh generasi tua melalui idealisasi masa lalu serta citra kekuatan, kekayaan, atau kecendekiaan ini menuntut adanya misrekognisi, sehingga anak muda dapat membentuk bahasa politiknya sendiri.
“Dalam konteks sejarah Sumpah Pemuda, ketika mereka dipaksa untuk mengakui bahasa Belanda sebagai bahasa mereka, para pemuda saat itu bisa mengatakan, ‘tidak, itu bukan bahasa kami.’ Melalui misrekognisi yang sama kita perlu berupaya untuk memecah bahasa politik dari kelompok-kelompok yang berkepentingan,” pungkasnya.
Senada dengan hal tersebut, sastrawan Tia Setiadi menyampaikan bahwa kaum muda saat ini perlu memiliki otentisitas, bukan hanya menjadi perpanjangan tangan dari organisasi politik atau kelompok tertentu.
“Generasi tua tidak membiarkan generasi muda memiliki otentisitasnya sendiri. Tapi generasi muda saat ini menghadapi banyak hal baru yang tidak terpikirkan oleh para pendahulu, sehingga kita harus muncul dengan otentisitas kita sendiri,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)