Industri perdagangan elektronik atau e-commerce yang terus tumbuh dan berkembang di seluruh dunia menjadi bagian penting dari pertumbuhan ekonomi global. Sebagai salah satu pasar terbesar di Asia, Indonesia pun menawarkan peluang yang besar bagi perkembangan bisnis ini. Meski demikian, penetrasi e-commerce di Indonesia masih cukup lambat.
“Ukuran dari online retail di Indonesia hanya 3,4% dari total retail. Ini jauh di bawah negara-negara lain, seperti Cina, yang mencapai 14%. E-commerce di Indonesia sebenarnya peluangnya masih sangat besar, tapi penetrasinya cukup lambat,” ujar Managing Director berrybenka.com, Danu Wicaksana, Jumat (4/11) di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam acara CEO Talk The Walk yang mengusung topik terkait perkembangan bisnis e-commerce di Indonesia. Penetrasi perdagangan elektronik yang masih lambat, menurutnya, berkaitan dengan penetrasi internet yang juga masih rendah, hanya sekitar 37 persen. Hal ini membuat Indonesia memang cukup tertinggal dalam bisnis ini. Meski demikian, ia mengaku optimis bahwa di masa mendatang perdagangan elektronik di Indonesia akan terus meningkat.
“Negara lain lebih melek duluan soal e-commerce, mungkin sejak 3 atau 4 tahun yang lalu, sedangkan kita baru mulai sekitar tahun 2015. Tapi pengguna internet dalam 4 tahun terakhir itu tren-nya naik, artinya potensinya ada, karena kita baru saja memulai dalam hal ini,” papar Danu.
Sebagai praktisi yang berpengalaman dalam industri perdagangan elektronik, Danu membagikan pengetahuan terkait seluk beluk bisnis e-commerce serta berbagai platform yang ada di dalamnya. Berbagai perusahaan e-commerce yang ada di Indonesia, menurut Danu, sebenarnya bisa dibagi ke dalam 4 kategori platform yang berbeda.
“E-commerce itu macamnya banyak sekali. Orang mungkin tanya, berrybenka, lazada, olx, dan lainnya itu bedanya apa sih? Kita bisa bedakan mereka berdasarkan model bisnisnya,” tuturnya.
Kategori pertama yang ia sebutkan ialah model website classified yang menjadi platform untuk transaksi jual beli. Ada juga marketplace yang sama-sama berfungsi untuk mempertemukan penjual dan pembeli, tapi sebagai tambahan ia juga menjalankan fungsi sebagai perantara dalam transaksi pembayaran. Berbeda dengan dua model sebelumnya, model bisnis ketiga, online retailer, hanya melibatkan dua pihak, yaitu e-commerce sebagai penjual yang menjual barang secara langsung kepada pembeli tanpa melalui perantara.
“Selain tiga ini ada lagi kategori yang keempat, yaitu model campuran antara market place dan online retailer. Jadi dia menjual produknya sendiri dan di saat yang sama juga menjual produk milik orang lain,” paparnya.
Meski tren industri perdagangan elektronik terus meningkat, Danu mengakui bahwa perkembangan industri ini di Indonesia masih mengalami berbagai kendala, misalnya terkait dengan merchandising, logistik atau pengiriman barang, serta pembayaran.
“Untuk produk baju memang kita sudah bisa produksi sendiri di Indonesia, tapi Indonesia memang masih kekurangan supplier yang berkualitas bagus, khususnya untuk produk sepatu dan tas. Memang banyak pengrajin yang punya produk berkualitas, tapi karena masih home industry jadi sulit untuk mendapat produk yang sama dalam skala besar,” imbuhnya.
Karena itu, ia berharap di waktu mendatang pemerintah dapat lebih banyak turun tangan dalam mendukung para pelaku industri kreatif untuk lebih meningkatkan kualitas produksi, karena mereka juga adalah salah satu pilar penting bagi pengembangan industri e-commerce. (Humas UGM/Gloria)