Budaya di pesantren menjadikan Kyai menjadi rujukan dalam pendidikan agama maupun dalam seluruh persoalan kemasyarakatan lainnya. Tapi dalam hal perjodohan di pesantren, Nyai atau perempuan di dalam pesantren memiliki peran penting yang tak bisa dinafikkan.
Dalam pandangan sebelumnya, pada proses perjodohan, perempuan banyak dilihat sebagai kelompok yang diam dan menerima begitu saja proses perjodohan yang dirancang oleh orangtua dan keluarga lainnya. Suara, pandangan dan pengalaman perempuan tidak dianggap penting sehingga perempuan diposisikan sebagai ‘passive agent’.
“Namun hasil penelitian yang kami lakukan menunjukkan hal sebaliknya. Perempuan merupakan agen yang aktif,” ujar Nihayatul Wafiroh MA, saat mempertahankan disertasi bertajuk ‘Women’s Agency in Arranged Marriages within the Context of Pesantren’ di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (7/11).
Nihayatul mengemukakan, dari lima informan terbaca, Nyai memiliki posisi sangat signifikan dalam proses perjodohan. “Salah satu informan mengatakan keputusan untuk melanjutkan atau memberhentikan proses pertunangan bukan di tangan ayahnya yang Kyai namun ada di kendali ibunya atau Nyai,” tuturnya kemudian.
Informan lain, menurut anggota Komisi IX DPR RI itu, mengungkapkan seluruh proses mulai dari awal perjodohan hingga pernikahan yang menangani ibunya. “Ada pula Nyai yang meminta anak perempuannya berkata jujur kepada ayahnya untuk mengungkapkan apakah dia menerima benar atau menolak perjodohan,” ungkapnya.
Namun, hal itu tak pernah muncul di permukaan karena keluarga pesantren masih memegang konsep ‘perfect marriage’ yang berarti untuk semua urusan yang di luar rumah, laki-laki yang harus menangani. “Karenanya, peran perempuan tak pernah terlihat sebab yang diketahui masyarakat, Kyai yang memegang peran penting,” ujar Nihayatul.
Temuan itu menjadi pembantah bahwa perempuan tidak memiliki peran. Perempuan sebenarnya agen yang aktif. Mereka memainkan agensinya dengan berbagai cara. “Bahkan, Nyai juga melakukan advokasi kepada anaknya untuk bisa menentukan pilihannya dan mengungkapkan keinginannya,” papar anggota DPR RI asal PKB itu.
Habitus yang telah menjadi semacam doktrik bahwa perjodohan merupakan representasi ketaatan kepada Kyai tidak serta merta diterima perempuan. “Perempuan sebagai agen yang aktif melakukan kritik-kritik terhadap konsensus tersebut. Sekaligus membuktikan perempuan tak sekadar mengikuti habitus yang ada tanpa memainkan keagenannya,” tandas Nihayatul. (Humas UGM/ Agung)