Trombosit Vena Dalam (TVD) masih menjadi masalah kesehatan yang penting terutama saat terjadi perkembangan ke arah emboli paru yang dapat mengancam jiwa. Namun, hingga saat ini belum disepakati penanda aktivasi koagulasi yang berkaitan dengan deteksi peningkatan risiko mendapatkan TVD. Padahal, penanda aktivasi koagulasi dapat menunjukkan kondisi prethrombotic state terkait TVD yang bisa diterapkan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat TVD.
“Bagaimana dan sejauh mana peran F1+2, FPA, dan TAT belum jelas, terutama di Indonesia. Indeks trombosis sama sekali belum pernah diusulkan terkait dengan kondisi prethrombotic state dalam rangka memprediksi peningkatan risiko mendapatkan TVD,” ujar dr. Usi Sukorini, saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Selasa (8/11) di Fakuktas Kedokteran UGM.
TVD merupakan salah satu manifestasi tromboembolisme vena (TEV) yang muncul akibat suatu kondisi tertentu atau merupakan komplikasi penyakit yang mendasari, yang dapat menginduksi timbulnya prethrombotic state. Tahun 2009 dilaporkan bahwa di Indonesia kejadian TEV asimtomatik dan simtomatik pada pasien pasca pembedahan ortopedi tanpa trombofilaksis didapatkan masing-masing 69,2% dan 23,1%.
Ia menjelaskan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya TVD cukup beragam, diantaranya pembedahan, trauma, istirahat di tempat tidur dalam waktu lama, perjalanan jauh, kemoterapi, obesitas, kebiasaan merokok, faktor genetik, dan faktor risiko lainnya.
Pasien TVD dapat bersifat asimtomatik dan simtomatik, sehingga perlu diwaspadai agar tidak berkembang ke arah emboli paru. Emboli paru, kata dr. Usi, dapat terjadi saat trombus, terutama di ekstrimitas inferior, lepas sebagai emboli mengikui aliran darah melalui vena cava inferior menuju jantung dan kemudian ke arteri pulmonalis.
“Dalam kondisi ini secara mendadak pasien dapat mengalami sesak nafas dan akhirnya meninggal secara mendadak. Kondisi ini sangat berbahaya terutama terhadap pasien asimtomatik,” jelas staf pengajar di Departemen Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium FK UGM ini.
Persoalan ini mendorong dr. Usi untuk merumuskan formula baru yang dapat menggambarkan kondisi in vivo yang berdampak ke produk akhir sehingga memengaruhi pembentukan trombus. Dalam disertasinya yang berjudul “Faktor Risiko Prethrombotic State dan Indeks Trombosis pada Trombosis Vena Dalam”, ia menentukan seberapa jauh peran penanda aktivasi koagulasi prothrombin fragment 1+2 (F1+2), fibrinopeptide A (FPA), kompleks trombin-antitrombin (TAT), serta indeks trombosis (F1+2)+(FPA)/TM dalam memprediksi peningkatan risiko terjadinya TVD.
Dari penelitian yang dilakukan, ia memberi kesimpulan bahwa prothrombin fragment 1+2 (F1+2) dengan cut off > 0.3 nmol/ml dapat memprediksi peningkatan risiko terjadinya TVD dengan rasio odds 73.8, sementara fibrinopeptide A (FPA), kompleks trombin-antitrombin (TAT), serta indeks trombosis (F1+2)+(FPA)/TM masing-masing juga dapat memprediksi terjadinya TVD dengan rasio odds 1.8, 12, serta 1.19.
“Pemeriksaan prothrombin fragment 1+2, fibrinopeptide A, kompleks trombin-antitrombin, dan indeks trombosis dapat diaplikasikan terkait penatalaksanaan pasien dalam memprediksi peningkatan risiko mendapatkan trombosis vena dalam,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)