Kasus Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB-MDR) menjadi persoalan kesehatan serius di tingkat dunia, tidak terkecuali Indonesia. Data WHO 2013 menyebutkan terdapat 480 kasus baru penderita tuberkulosis yang kebal terhadap obat. Sementara data Kemenkes RI 2011 memperkirakan jumlah kasus baru TB-MDR Indonesia sekitar 8.900 orang setiap tahunnya atau sekitar 2 persen kasus TB baru.
“Indonesia merupakan negara dengan beban TB di urutan ke-8 dunia dari 27 negara yang memiliki beban tinggi untuk TB-MDR,” kata dr. Lia Gardenia Partakusuma, Rabu (9/11) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran (FK) UGM.
Direktur Penunjang RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta ini menyampaikan upaya penanggulangan dan pencegahan TB serta pengembangan kebijakan dan sistem yang sangat diperlukan untuk mencapai eliminasi TB di tahun 2035. Sementara dalam mendiagnosis TB, baik di Indonesia dan sebagian besar negara dunia masih menggunakan cara konvensional. Misalnya, BTA dan kultur padat yang memerlukan waktu relatif lama dan sensitifitas yang rendah di bawah 50 persen.
“Hasil kultur padat yang minimal memakan waktu lebih dari 2 minggu ini menyebabkan jumlah kuman dalam tubuh berkembang biak lebih banyak,” tuturnya.
Lia menjelaskan sejak tahun 1993 metode ini sudah banyak dimanfaatkan dalam berbagai penelitian dalam penelusuran penularan TB. Metode ini dapat mengurangi kesulitan teknik dan memperpendek waktu pengerjaan. Kendati begitu, survelians TB di Indonesia menggunakan cara biomolekular masih belum dilakukan dalam program penanggulangan TB nasional.
Oleh sebab itu, Lia melakukan penelitian dengan menggabungkan metode pemeriksaan laboratorium epidemiologi molekuler dengan analisis GIS. Penelitian ditujukan untuk mengetahui situasi genotip M.tuberculosis pada pasien TB-MDR di Indonesia khususnya di wilayah barat Indonesia. Penelitian ini menggunakan 59 sampel isolat pasien TB-MDR di RSUP Persahabatan.
“Hasil uji biomolekuler menunjukkan kejadian TB-MDR sekunder karena tidak patuh berobat ataupun putus obat pada pria 2 kali lebih tinggi dibanding wanita,” jelasnya.
Hasil lainnya memperlihatan dari sisi wilayah sebanyak 25% penderita berasal dari Jakarta, 36% dari Bodetabek, dan 39 persen daerah Indoensia bagian barat. Selain itu, ditemukan dominasi strain Beijing pada penelusuran metode MIRU-VNTR dengan GIS pada isolate TB-MDR di berbagai daerah Indonesia bagian barat. Pasien strain Beijing ini mempunyai kecenderungan 2,6 kali lebih tinggi menjadi MDR (+) yaitu pasein yang tidak hanya resisten terhadap rifamipsin dan INH, tetapi juga pada OAT lini satu maupun lini dua.
“ Sebanyak 47,1 persen pasien menderita TB-MDR dengan strain Beijing,” ungkapnya.
Melihat hal tersebut, Lia memandang perlunya survelians epidemiologi molekular berkala di populasi sesuai standar internasional. Upaya ini penting dilaksanakan untuk mencegah penularan TB. Tidak hanya itu, pemanfaatan analisis spasial GIS juga penting diupayakan untuk mengetahui sebaran kasus MDR baru dan lama, MDR, dan MDR (+), serta sebaran strain Beijing dan non Beijing di berbagai wilayah Indonesia. (Humas UGM/Ika)