Untuk pertama kali, UGM, BP3TKI, Lembaga Pendidikan dan Kejuruan (LPK) bersinergi dalam Skill Upgrading Pendidikan Bahasa Korea untuk calon tenaga kerja Indonesia sektor perikanan di Korea Selatan. Pembekalan diberikan kepada mereka CTKI yang sudah dinyatakan lulus TOPIC-EPS sektor perikanan.
“Ini merupakan bagian dari Program Peningkatan Kecakapan Kerja, kerja sama antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan BNP2TKI yang di Yogyakarta dilaksanakan oleh LPK Bina Insani,” ujar Ratih Pratiwi Anwar, M.Si dari Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Kamis (10/9).
Dalam kesempatan ini, Ratih Pratiwi Anwar memaparkan hasil-hasil penelitian Pusat studi Asia Pasifik UGM terkait sektor perikanan di Korea Selatan. Lebih detail ia menjelaskan tentang Sistem Ijin Kerja (Employment Permit System), kondisi kerja di bidang penangkapan ikan Korea, serta berbagai permasalahan yang mungkin timbul dengan berbagai jawaban untuk mengatasi masalah tersebut.
Ia menjelaskan berbagai materi terkait risiko menjadi ABK di kapal ikan. Diantaranya, risiko jam kerja, hari libur, dan jam istirahat yang tidak sama dengan ketentuan standar jam kerja, hari libur dan jam istirahat pada UU Standar Tenaga Kerja Korea.
“Kebetulan CTKI-nya mayoritas lulusan SMK Kelautan, karena itu penting disampaikan beberapa faktor yang memengaruhi kondisi kerja di masing-masing perusahaan. Karena tidak sedikit dari mereka yang memiliki skills, namun tidak kuat cuaca. Atau harus menghadapi ABK Korea yang kasar dan lain-lain,” paparnya saat memberi pembekalan.
Terhadap kekhawatiran sektor fishing sebagai batu loncatan pindah ke sektor manufaktur, Ratih Pratiwi Anwar menandaskan aturan untuk menjadi TKI fishing di Korea saat ini semakin diperketat. Untuk lolos mereka harus lulus berbagai materi ujian, meliputi uji bahasa korea TOPIC-EPS perikanan, uji ketrampilan kerja, dan uji kompetensi.
Selain itu, ada uji keterampilan kerja meliputi uji kekuatan fisik, wawancara dan kemampuan dasar. Uji kompetensi tersebut meliputi: pengalaman kerja, pelatihan bidang perikanan, dan sertifikat nasional.
“Diharapkan dengan ujian-ujian ini dapat menyaring orang-orang yang memang memiliki kompetensi dan kemampuan fisik untuk bekerja di kapal dalam berbagai jenis kondisi cuaca,” tandasnya.
Bahkan, bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit paru-paru akan dikategorisasikan tidak sehat. Untuk bekerja di kapal (in-shore maupun off-shore) memang baru diambil alih penempatannya oleh pemerintah Korea tahun 2012 dan kemudian diintegrasikan ke dalam EPS.
Sebelumnya, penempatan pekerja migran fishing penangkapan ikan di Korea ini dilakukan oleh PPTKIS atau P4, atau bahkan oleh calo. Hal tersebut dampaknya tentu sangat merugikan TKI fishing. Misalnya, upah hanya US$ 200 (sekitar 2,6 juta rupiah), sedangkan setelah diintegrasikan maka upah mengikuti standar upah minimum Korea yaitu akan menjadi 1,35 juta won atau setara 15,4 juta rupiah.
“Dengan persyaratan CTKI harus lulus pendidikan kelautan, atau punya pengalaman kerja serta harus lulus uji kompetensi tingkat nasional maka diharapkan mereka akan lebih punya skills dibandingkan TKI fishing zaman dulu yang tidak mensyaratkan hal demikian,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)