Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Fakultas Kedokteran UGM mengadakan Forum Diskusi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Forum tersebut menghadirkan beberapa narasumber ahli yakni Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., Ahmad Ansyori, S.H., M.Hum., CLA., dan Dra.Siti Badriyah, Apt., M.Kes. Forum Diskusi JKN oleh KP-MAK yang diadakan pada Rabu (9/11) ini membahas isu-isu terkait JKN mulai dari pembayaran iuran peserta JKN, cakupan kepesertaan JKN, hingga pemahaman hak dan kewajiban peserta JKN.
Pada sesi pertama diskusi, Ahmad yang juga merupakan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyampaikan materi terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ahmad membuka pemaparannya dengan sebuah pertanyaan tentang perlu tidaknya SJSN. Selanjutnya, Ahmad juga menjelaskan tentang landasan filosofis SJSN yang salah satunya adalah hak konstitusional yang tertulis pada UUD 1945 Pasal 28 H ayat (3). Pada peraturan tersebut ditulis bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai menusia yang bermanfaat.”
“SJSN adalah wujud tanggung jawab negara untuk menjamin hak konstitusi setiap warga negara atas jaminan sosial,” kata Ahmad.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, SJSN tetap mengalami beberapa kendala dan tantangan. Dalam diskusi tersebut Ahmad juga memaparkan berbagai kendala dan tantangan dalam pelaksanaan SJSN. Salah satu tantangan dalam pelaksanaan SJSN adalah terkait kepersertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jumlah peserta JKN sebesar 169 juta atau setara dengan 65,5% dari jumlah penduduk Indonesia. Namun, dari jumlah tersebut 89 juta diantaranya merupakan Peserta Penerima Upah (PPU) dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang belum menjadi peserta.
“Skema tersebut dapat dilakukan dengan memperpanjang masa tunggu untuk menghindari adverse selection,” ujar Ahmad.
Selain terkait masalah kepesertaan, Ahmad juga menyoroti kendala terkait pelayanan, iuran, dan belanja JKN. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) misalnya, belum mampu menangani 155 penyakit non-spesialistik. Hal tersebut menyebabkan tingkat rujukan yang tinggi. Selain itu, tidak tersedianya obat turut menambah beban biaya peserta. Ahmad menganjurkan perlu adanya perbaikan sistem oleh Kementrian Kesehatan terkait pengadaan dan pendistribusian obat. Dari segi iuran, Ahmad mengatakan bahwa besarnya iuran perlu segera dievaluasi dengan memperhitungkan tarif faskes (InaCBG’S) yang wajar serta proyeksi pencapaian kepesertaan.
Sementara itu, Ali Ghufron lebih fokus bicara terkait implementasi SJSN di lapangan.Ia mengakui SJSN masih memiliki beberapa kekurangan. Fasilitias kesehatan, anggaran dan pemerataan memang masih menjadi problem utama. Selain itu, fasilitias kesehatan dibeberapa tempat masih kurang memadahi. Terkadang, saat dokter yang menangani sudah baik, akan tetapi fasilitas kesehatan penunjang kesehatan kurang memadahi bahkan tidak ada. (Humas UGM/Catur)