Dunia kerja memberikan tantangan tersendiri bagi para lulusan baru perguruan tinggi. Tantangan bisa muncul dari lingkungan kerja yang asing, budaya kerja yang berbeda, tuntutan yang tinggi, hingga rekan kerja dengan sifat yang beraneka ragam. Untuk itu, para lulusan baru ini dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
“Kalau biasanya di kampus kita punya teman-teman akrab yang sifat atau kebiasaannya sama, di dunia kerja kita dituntut untuk bisa bekerja dengan manusia yang karakternya beraneka ragam, bahkan mungkin bertolak belakang dengan kita. Kalau kita tidak siap dengan itu kita akan semakin terkotak-kotak,” ujar produser eksekutif acara Mata Najwa Metro TV, Dahlia Citra Buana, Selasa (15/11) di Grha Sabha Pramana UGM.
Di hadapan para calon wisudawan program sarjana dan diploma periode November 2016, alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini, mengisahkan pengalamannya sebagai jurnalis yang ia mulai selepas kuliah. Bagi perempuan muda ini, dunia jurnalistik memang memiliki daya tarik tersendiri. Karena itu, dengan mantap ia mengawali kariernya dengan menjadi jurnalis di salah satu stasiun radio.
Setelah 5 tahun menggeluti jurnalistik radio, ia merasakan dorongan untuk mencari tantangan baru dan memutuskan untuk berpindah ke dunia televisi. Hal ini, menurutnya, bukan keputusan yang mudah mengingat ia sama sekali tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan dalam bidang pertelevisian.
“Saya harus menghabiskan waktu yang lebih lama di kantor dibandingkan teman-teman saya karena harus mempelajari seluk beluk broadcasting yang belum saya mengerti. Tapi ini adalah pengalaman-pengalaman yang berharga, ketika saya memutuskan untuk mencoba hal yang baru dan fokus untuk itu,” kata Citra.
Ia pun mengajak para calon wisudawan untuk selalu memiliki pikiran yang terbuka terhadap tantangan dan siap untuk mengambil pilihan-pilihan baru ketika kesempatan itu datang.
“Ada titik di mana kita diharuskan untuk mengambil pilihan baru. Jangan takut untuk melakukan hal yang berbeda, karena kita ini generasi pembelajar. Kita belajar untuk hidup, dan kita hidup untuk belajar,” pungkasnya.
Hal serupa disampaikan oleh CEO Schlumberger Indonesia sekaligus penggagas Biru Peduli Foundation, Achmad Yuniarto. Seorang lulusan perguruan tinggi, menurutnya, tidak boleh menjadi seseorang yang terkungkung dalam kesempitan. Sebaliknya, mereka harus terus mengejar kompetensi untuk memberikan impak yang nyata bagi masyarakat.
“Kita tidak bisa jadi manusia yang dikungkung oleh kesempitan. Kita harus membesarkan impak untuk masyarakat,” ujar alumnus Fakultas Teknik UGM ini.
Ia mengambil contoh dari pengalaman pribadinya ketika menjadi lulusan baru dengan pengalaman yang minim. Meski saat itu ia tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik, ia memberanikan diri untuk mengikuti seleksi di perusahaan Schlumberger. Akhirnya, ia pun diterima untuk bekerja di salah satu cabang perusahaan minyak dan gas milik Perancis tersebut di sebuah kota di Inggris.
“Saya bisa ke Inggris meskipun saya tidak bisa bahasa Inggris. Di situ saya baru tahu saya punya kemampuan yang tadinya saya sendiri tidak sadari. Kita tidak bisa hanya menilai seseorang dari luarnya saja tanpa melihat kualitas yang ada di dalam, karena di situ ada potensi yang harus digali,” imbuhnya.
Bagi para calon wisudawan, ia menitipkan pesan agar setiap mereka dapat mempertanggung jawabkan kesempatan yang sudah diberikan kepada mereka untuk merasakan pendidikan tinggi dengan menunjukkan kontribusi nyata. Hal ini, menurutnya, bukanlah hal yang sulit mengingat proses pembentukan karakter dan pelatihan kompetensi yang telah mereka terima semasa kuliah.
“Dalam era ini, talent competitiveness serta daya inovasi menjadi hal yang harus dikejar, dan Anda dapat menaklukkan itu karena anda sudah melalui proses penggodokan di kampus Gadjah Mada. Kita harus percaya, dari Gadjah Mada kita bisa menaklukkan dunia,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)