Tanaman pisang dapat kita temukan hampir di segala tempat di Indonesia, baik di lahan kering dan pekarangan di sekitar perumahan, atau di sekeliling persawahan dan di sepanjang jalan. Jenis pisang yang dikonsumsi di Indonesia pun sangat beragam, tidak seperti sebagian besar negara-negara barat seperti Belanda yang hanya memiliki jenis pisang Cavendish. Meski demikian, penyebaran penyakit-penyakit tanaman pisang mulai mengancam produksi pisang Indonesia.
“Keragaman jenis pisang dan konsumsinya di Indonesia berperan nyata dalam ketahanan pangan maupun sebagai sumber pendapatan. Namun, penyebaran global penyakit-penyakit tanaman pisang, khususnya yang sangat merugikan yaitu penyakit Panama atau layu Fusarium sudah mengancam peranan pisang dalam kehidupan sehari-hari penduduk Indonesia,” ujar Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof. Siti Subandiyah, Kamis (17/11).
Siti menjadi salah satu koordinator dalam program kerja sama penelitian internasional dan interdisiplin yang fokus pada keragamanan pisang Indonesia, yaitu The Indonesian banana: protecting a staple food from Panama disease collapse and exploiting its genetic diversity for discovery research. Program yang berlangsung pada 5-12 November lalu ini didukung oleh The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences Scientific Programme Indonesia – Netherlands (KNAW-SPIN) serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Tim peneliti yang terdiri dari 19 orang dosen, peneliti post-doctoral, mahasiswa S2 serta S3 dari Indonesia dan Belanda ini meneliti dan mendokumentasi keragaman pisang di lokasi asalnya di Indonesia, misalnya di Kabupaten Bantul, DIY, serta Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Mereka melakukan identifikasi keragaman pisang-pisang konsumsi yang ditanam oleh petani di lahan pekarangan, memetakan konsisi tanah dan mendeskripsikan variabel kondisi lingkungan pertanian di lahan pertumbuhan pisang, meneliti keberadaan penyakit tanaman pisang, khususnya layu Fusarium, serta mewawancarai petani mengenai kegunaan dan pengetahuan keragaman varietas komoditas tersebut dalam hubungannya dengan ketahanan pangan dan pemasaran.
“Kerja sama internasional dan interdisiplin ini membangun landasan penelitian ke depan secara ilmiah dan sosial yang bertujuan untuk mengembangkan keamanan akses terhadap pangan sehat dan komunitas pedesaan yang layak,” papar Siti.
Penyakit Panama yang banyak menyerang tanaman pisang di Asia Timur dan Asia Tenggara sejak 1960-an memang menjadi salah satu fokus utama dalam penelitian ini. Di Indonesia, penyakit ini telah berkembang dengan sangat cepat dan menyebabkan penurunan yang signifikan pada ekspor pisang Indonesia.
“Penyakit ini menyebar banyak sekali di Indonesia, sudah sampai di mana-mana. Akibatnya, produksi turun dan sejak 2003 ekspor kita turun drastis,” imbuhnya.
Masalah inilah yang menjadi latar belakang diadakannya penelitian bersama tersebut. Menurut Siti, pemahaman terhadap bagaimana hubungan antara pisang, penyakit tanaman, tanah, kepemilikan lahan, dan permintaan pasar memengaruhi keragaman pisang konsumsi yang ditemukan dan respons terhadap berkembangnya penyakit tanaman tidak hanya relevan secara ilmiah, namun juga dapat mempercepat pemahaman terhadap dimensi yang berbeda dari produksi, konsumsi, dan pemasaran pisang Indonesia.
“Hal ini berkontribusi terhadap penetapan keputusan ke depan oleh kelompok-kelompok tani atau gapoktan, kebijakan pemerintah, jaringan perdagangan dan penelitian ilmu hayati atau biologi,” jelasnya.
Selain peneliti dari UGM, kerja sama ini juga melibatkan peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wageningen University and Research (WUR), University of Amsterdam (UvA), KNAW-Netherlands Institute of Ecology (NIOO-KNAW), serta KNAW-Fungal Biodiversity Centre (CBS). (Humas UGM/Gloria)