Penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aquaired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) saat ini sudah menjadi pandemi global yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi dan politik. Tahun 2010, jumlah kasus HIV di dunia mencapai sekitar 34 juta orang.
Dari angka tersebut, lebih dari 95 persen infeksi HIV menyebabkan kematian dan terjadi di negara berkembang disebabkan kondisi sosial, kemiskinan dan kurangnya pelayanan kesehatan. Bahkan, data AIDS Epidemic Update, UNAIDS tahun 2009 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penyebaran HIV tercepat di Asia.
“Untuk itu, pasien immunocompromised karena infeksi HIV membutuhkan terapi antiretrovial (ARV) sepanjang hidupnya. Sementara pada era dimulainya terapi HIV dengan obat ARV, problem utama yang dihadapi adalah reaksi alergi terhadap obat,” tutur dr. Angela Satiti Retno Pudjiati, Sp.KK (K), di Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (23/11).
Dosen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Departemen Dermatologi & Venerologi, Fakultas Kedokteran UGM ini mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. Didampingi promotor Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, SpKK(K) dan ko-promotor Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D serta Prof. dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM, promovenda mempertahankan disertasi berjudul Hubungan Polimorfisme Gen HLA Dengan Alergi Obat Nevirapine pada Penderita HIV/AIDS di Indonesia.
Angela Satiti Retno Pudjiastuti menuturkan reaksi alergi terhadap obat 100 kali lebih sering dijumpai pada pasien terinfeksi HIV, dibandingkan populasi umum akibat pemberian obat ARV. Sementara itu, obat ARV yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah nevirapine.
“Manifestasi klinis alergi obat pun bervariasi, dari yang ringan seperti eksantema kulit (rash) hingga manifestasi berat berupa sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dan sering juga melibatkan organ ekstrakutan seperti hepar, ginjal dan sumsung tulang yang menyebabkan kematian, sehingga seringkali obat harus dihentikan,” tutur Angela Satiti.
Beberapa faktor genetik dan non-genetik, menurut Angela Satiti, dapat memodifikasi aksi obat sehingga tanggapan pada individu yang berbeda terhadap obat tertentu sangat bervariasi. Perbedaan gen HLA pada pasien terinfeksi HIV diduga berperan pada variasi respons terapi maupun toksisitas terhadap obat ARV yang diberikan.
Polimorfisme gen HLA diantara individu-individu akan memengaruhi perbedaan kerentanan seseorang untuk mengalami alergi obat. Dengan demikian, deteksi dini faktor risiko alergi obat sebelum pemberian ARV pada penderita HIV sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat alergi obat.
“Karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu klinisi dalam upaya preventif untuk merencanakan terapi pada kasus infeksi HIV/AIDS, sehingga mampu menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat alergi obat dan meningkatkan kelangsungan hidup penderita HIV/AIDS,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)