Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik, memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Rabu (23/11). Berbicara mengenai toleransi dan pluralisme, ia menyatakan kekagumannya akan budaya toleransi Indonesia dan mendorong Indonesia untuk dapat membagikan pengalaman ini ke negara-negara di dunia.
“Mengenai toleransi, Indonesia mempunyai peran yang penting untuk dimainkan. Dari semua negara di mana saya pernah bekerja, Indonesia bisa dibilang yang paling sukses dalam melindungi toleransi dan mempromosikan moderasi,” ujarnya.
Kekaguman ini bukan tanpa alasan. Ia mengaku memperoleh pengalaman yang spesial dalam kunjungan pertamanya ke Indonesia beberapa tahun silam. Sebagai seorang muslim yang dibesarkan di Inggris, ia menyatakan keheranan dan kekaguman yang begitu besar ketika melihat seorang perempuan muslim berjilbab bisa mengendarai sepeda motor di jalanan umum dan ketika ia mengikuti pertemuan di Istana Negara yang dipimpin seorang ulama wanita. Hal ini, menurutnya, adalah sesuatu yang tidak bisa ditemukan di banyak negara lain.
“Mungkin bagi kalian ini hal yang biasa, melihat perempuan memakai jilbab naik motor. Tapi bagi saya sebagai orang luar itu begitu luar biasa sampai saya langsung mengambil foto dan mengirimkannya pada anak perempuan saya. Di beberapa negara muslim ini bisa menimbulkan kontroversi yang begitu hebat,” terang Malik.
Malik melihat hal ini sebagai keunikan tersendiri di dalam kehidupan beragama di Indonesia yang dalam skala yang lebih besar dapat menjadi potensi solusi bagi persoalan intoleransi di dunia. Oleh karena itu, ia pun mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak melihat toleransi secara pesimis dengan beberapa kejadian yang ada, tapi melihat sisi terang dan potensi yang ada di dalam budaya masyarakat.
Secara spesifik ia menyebutkan dua karakter Indonesia yang menurut pengamatannya merupakan membentuk budaya toleransi di Indonesia. Yang pertama, tidak seperti kebanyakan negara yang pada mulanya homogen lalu mulai menjadi beragam karena migrasi. Sebagai negara yang terbentang dengan ribuan pulau, keberagaman telah menjadi karakter Indonesia sejak awal mula negara ini berdiri. Selain itu, karakter lain yang ia pandang penting adalah keberadaan Pancasila sebagai dasar negara serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
“Di kebanyakan negara, kami tidak memiliki ide yang serupa, bahkan kami tidak memiliki semboyan nasional seperti itu. Jadi, itulah yang spesial tentang Indonesia. Di Inggris, kami baru membicarakan mengenai nilai-nilai kebangsaan sekitar 3 tahun yang lalu dan itu cukup memunculkan perdebatan,” ungkapnya.
Keunikan ini, menurut Malik, menjadi alasan mengapa Indonesia harus lebih aktif dalam pembicaraan mengenai pluralisme di forum-forum dunia untuk bersama-sama membangun solusi bagi persoalan intoleransi yang terus menjadi isu penting dari waktu ke waktu.
“Tidak ada negara yang cukup kuat sendirian dan bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Karena itu, kita harus bekerja bersama-sama dan saling belajar dari yang lain,” imbuh Malik.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan Rektor UGM, ia juga menyampaikan keinginannya untuk mengirim mahasiswa dari Inggris untuk belajar di Yogyakarta, termasuk dengan mengikuti program KKN yang ditawarkan bagi mahasiswa internasional. Hal ini pun disambut baik oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D.
“Ketika 30 tahun yang lalu orang belum bicara tentang education for sustainable development (ESD), kami sudah memulainya dengan program KKN. Nantinya, dengan kerja sama ini kami dapat memfasilitasi mahasiswa Inggris untuk mengikuti KKN, dan tema KKN bisa dikaitkan dengan proyek-proyek mengenai pluralisme seperti yang tadi disampaikan dalam kuliah umum,” jelasnya.
Dalam pertemuan ini keduanya juga membahas rencana kerja sama dalam bidang manufaktur melalui teaching industry yang dibangun UGM, kerja sama di bidang akademik, serta kemungkinan kerja sama di bidang-bidang lain, baik dengan Kedutaan Besar Inggris maupun dengan perguruan tinggi di Inggris. (Humas UGM/Gloria; Foto: Donnie)