Manusia dapat mempresentasikan sesuatu dengan berbagai deskripsi verbal. Tak hanya terbatas lewat penyampaian verbal, paparan akan sesuatu dapat disampaikan juga melalui gambar. Berbeda dengan kata-kata yang merupakan representasi verbal, gambar merupakan representasi visual yang kerap kali dipakai. Maka, sering disebutkan bahwa representasi piktorial adalah natural mengingat verbal hanya merupakan konvensi.
Istilah representasi dalam filsafat seni memiki makna khusus yakni perluasan dari kata mimesis yang berarti imitasi. Mimesis merupakan salah satu teori filsafat seni awal yang pada perkembangannya digunakan dengan berbagai variasi oleh para filsuf. Representasi piktorial mengalami problema ketika Susanne K. Langer mengemukakan teori filsafat seninya. Namun, pada waktu itu Langer sendiri belum menggunakan istilah representasi piktorial.
Sudaryanto, Mahasiswa S3 Program Studi Filsafat, Fakultas Filsafat UGM, melakukan penelitian kepustakaan untuk menemukan pemikiran tentang representasi piktorial yang tersembunyi dalam teori umum Langer. Tidak hanya sampai disitu, Sudaryanto juga ingin merumuskan terkait representasi piktorial dari teori Langer.
“ Hasil kajian terkait representasi piktorial teori Langer itu lah yang dipakai untuk menginterpretasi penggambaran bentuk wayang purwa,” ujar Sudaryanto.
Pada ujian terbuka doktor yang dilakukan Sudaryanto pada Rabu (23/11) di Fakultas Filsafat, penelitiannya menemukan bahwa filsafat seni Langer berangkat dari studio tempat para seniman berkarya, bukan dari galeri. Langer memulai dari konsep dasar seni, yakni ; ekspresi, kreasi, dan bentuk yang saling berinterelasi. Sudaryanto menambahkan masing-masing seni menciptakan ilusi primernya sendiri-sendiri.
“Ilusi primer dari seni piktorial adalah ruang virtual,” jelas Sudaryanto.
Sudaryanto menambahkan, Langer juga mengadopsi teori Gestalt untuk menjelaskan proses penciptaan seni. Penciptaan gambar sebagai simbol presentasional memiliki banyak kriteria, yakni sebuah gambar tidak mengandung simbol yang mandiri terlepas dari konteks. Kriteria lainnya yakni pesan dalam sebuah gambar tidak mungkin diterjemahkan dengan melalui ekspresi bahasa atau ekpresi lain dan dua kriteria lainnya yang merujuk dari teori Gestalt yang dipakai Langer.
Selanjutnya, dari sumbangan pemikiran representasi piktorial Susanne K. Langer digunakan dalam intepretasi penggambaran wayang purwa gaya Yogyakarta. Sudaryanto menyimpulkan bahwa penggambaran wayang purwa adalah visualisasi tokoh-tokoh seputar mitologi yang bersumber dari Ramayana dan Mahabarata. Sudaryanto juga menambahkan bila merujuk pemikiran Langer maka visualisasi itu berarti penyalinan atau pengalihan dari memori virtual ke dalam ruang virtual.
“Penyalinan ini lah yang didasarkan pada pembentukan visual analog atau bentuk logis dengan peran dan karakter tokoh di dalam cerita,” jelas Sudaryanto.
Ia juga menjelaskan bahwa penggambaran wayang purwa gaya Yogyakarta tidak dapat sekali jadi, melainkan melalui proses abstraksi bertahap. Proses abstraksi bertahap tersebut disesuaikan dengan bentuk logis konsep budaya dan fungsinya dalam keseluruhan pertunjukkan. “Fungsi penggambaran wayang purwa adalah sebagai proyeksi dari peran dan karakter yang terhubung langsung dengan keyakinan dari masyarakat Jawa tentang konsep kehalusan dan kekasaran,” tutup Sudaryanto. (Humas UGM/Catur)