Kondisi status gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang merupakan hewan endemik Indonesia saat ini “sangat terancam punah” atau critically endangered”. Bahkan, lembaga konservasi alam IUCN berpendapat tinggal dua langkah lagi gajah Sumatra menuju kepunahan.
Sementara itu, lembaga internasional yang mengatur perdagangan satwa dan dilindungi CITES menyatakan gajah Sumatra telah masuk kategori “appendix 1” atau tidak boleh diperdagangkan. Ancaman terhadap kepunahan gajah Sumatera ini juga diakibatkan oleh konversi habitat, penyakit serta rendahnya angka kelahiran.
Demikian beberapa hal penting yang dibahas dalam Konferensi Gajah Nasional yang berlangsung di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Sabtu (26/11). Konferensi yang digelar Fakultas Kedokteran Hewan UGM ini menghadirkan beberapa pembicara diantaranya Donny Gunaryadi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Kepala Subdit Pengawetan Jenis, Sukirna Puja Utama, Drh. Muhammad Wahyu dari VESSWIC dan Dr. Wisnu Nurcahyo dari FKH UGM.
Donny Gunaryadi dalam kesempatan ini mengimbau agar pemerintah tegas untuk menghentikan konversi hutan alam yang tersisa. Karena bagaimanapun, hutan merupakan habitat gajah dan satwa-satwa liar lainnya. Selain itu, pemerintah perlu melakukan moratorium penangkapan gajah dari alam.
“Tegakkan hukum secara tegas, dan lakukan pendampingan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan alam. Menghadapi ancaman kepunahan ini, pemerintah harus mengalokasikan dana keamanan bagi gajah di PKG (Pusat Konservasi Gajah) terutama dari ancaman perburuan dan perdagangan gading gajah,” ujar Donny Gunaryadi.
Menurut Donny Gunaryadi, perhatian ini tidak hanya diperuntukkan untuk gajah liar, namun juga gajah-gajah jinak yang berada di PKG dan kebun binatang. Selain itu, yang juga tergabung dalam keanggotaan Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI).
Drh. Muhammad Wahyu dari VESSWIC berpandangan ancaman terhadap kepunahan gajah paling fatal lima tahun terakhir adalah kematian gajah akibat virus herpes (EEHV). Belum lagi rendahnya kesempatan gajah untuk melakukan interaksi seksual.
“Pada tahun 2007, populasi jinak hanya sekitar 500, makin hari makin berkurang. Kalau semua tidak peduli, gajah-gajah ini tinggal buku cerita. Karena itu, sudah saatnya untuk tidak saling menyalahkan, semua harus bertindak, kalau bukan kita siapa lagi,”kata Muhammad Wahyu.
Sementara itu, Kepala Subdit Pengawetan Jenis, Sukirna Puja Utama, mengatakan pemerintah sebenarnya menyadari beberapa hal yang menyebabkan kelestarian gajah berkurang, diantaranya hilangnya habitat, konflik manusia dan gajah, perburuan illegal, pemanfaatan organ gajah secara illegal, dan sejumlah virus penyakit. Karena itu, pemerintah mulai menyusun strategi untuk pencegahan periode 2007-2017.
“Salah satunya memasukan gajah sebagai salah satu satwa terancam punah dan menargetkan supaya populasi gajah bisa meningkat 10 persen di tahun 2019,” kata Sukirna.
Dr.drh. Wisnu Nurcahyo, penggagas dan penyelenggara kegiatan, berharap konferensi tidak hanya berhenti pada pertemuan. Namun, dari konferensi ini bisa ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan nyata.
“Kami berharap semua bisa terjun di lapangan untuk menyelamatkan satwa gajah ini, semua elemen baik Direktorat Keanekaragaman Hayati (KKH) Kemen LHK, Asian Pulp and Paper (APP), VESSWIC, PKBSI, Forum Mahout (Fokmas), YKSLI dan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), FKH UGM,” harapnya. (Humas UGM/ Agung)