Dalam banyak hal, dapat dikatakan semangat hidup bersama di tengah keberagaman budaya, etnis, bahasa atau agama di Indonesia sangat kuat. Indonesia telah menyelesaikan konflik-konflik berskala besar seperti di Maluku dan di Aceh setelah tahun 1998.
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri masih terdapat masalah-masalah yang masih mengganjal, dan jika tidak segera diselesaikan akan menjadi persoalan besar. Seperti persoalan ruang diskursus kebangsaan akhir-akhir ini yang kental bernuansa prasangka, fitnah dan lain sebagainya.
UGM sebagai universitas nasional, kebangsaan dan kerakyatan, dalam menjalankan pendidikan, pengabdian dan berbagai riset terus menjaga dan berupaya memperkokoh persatuan. Terlebih pada peringatan Dies ke-67, UGM terus melanjutkan perjuangan para pendiri dalam memelopori menuju pembangunan peradaban.
“Jadi yang kita bangun bukan bangunan gedung atau organisasi, namun bangunan peradaban yang lebih baik,” kata Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D, di ruang sidang MWA, Rabu (30/11).
Dwikorita Karnawati menyatakan UGM di usianya ke-67 ingin terus mengembangkan Tridharma Perguruan Tinggi melalui berbagai program pendidikan, penelitian dan pengabdian yang berkelanjutan. Sebagai upaya menjaga dan membangun persatuan, maka UGM setiap tahun selalu mengindonesiakan mahasiswa barunya.
“Mahasiswa baru kami rata-rata 6000 – 7000, bahkan pernah sampai 9000 mahasiswa. Mereka berasal dari berbagai penjuru tanah air. Ketika hari pertama mereka hadir di kampus kami meminta mereka menyusun konfigurasi bentuk-bentuk persatuan, kepulauan Indonesia, Indonesia Raya, Pancasila, Asean dan lambang PBB,” ujar Rektor.
Sementara itu, dalam rangkaian Dies Natalis UGM ke-67 juga akan dilaksanakan Niti Laku. Niti Laku dalam rangka Dies UGM ke-67 akan dilaksanakan pada 18 Desember 2016. Kegiatan Niti Laku sendiri merupakan penggambaran proses hijrah kampus UGM yang semula berada di Kraton Yogyakarta pindah menuju ke Bulaksumur.
Wakil Ketua Nitilaku, Budi Setiono, menjelaskan kegiatan Niti Laku Dies UGM ke-67 merupakan kegiatan Niti Laku ke-6. Kegiatan yang sudah lama dirintis oleh beberapa pendahulu dan senior-senior UGM ini selalu mengalami perbaikan dari tahun ke tahun.
“Tema besar Dies UGM ke-67, Dari UGM untuk Indonesia Sehat, maka sebagai turunan tema ini kita mengambil subtema Rakyat Sehat Negara Kuat, Warasing Kawula Sentosaning Bangsa. Lalu nama Niti Laku ini, sesuai sifat Gadjah Mada sebagai pemersatu, maka nama Niti Laku inipun kita disempurnakan menjadi Niti Laku Perguruan Kebangsaan,” ujar Budi Setiono.
Budi menandaskan ada tiga komponen besar dari konsep dari Niti Laku, yaitu Kampus, Kraton dan Kampung. Maknanya, keterpaduan Niti Laku dilaksanakan dengan menghimpun dan bekerjasama antara kampus, kraton dan kampung.
Kampung ini pun terdiri dari beberapa komunitas, diantaranya terdapat IKPMD (Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah). Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa daerah yang tinggal di asrama, seperti asrama Aceh, Papua dan lain-lain.
“Tidak kurang 6000 peserta kami targetkan mengikuti Niti Laku ini. IKPMD, sudah kita ajak kerja sama untuk NitiLaku ini, nantinya ada yang dari Bali yang akan menyuguhkan Ogoh-Ogoh, Aceh yang menampilkan beberapa tradisi, kesenian atau budaya Aceh dan seluruh provinsi yang tertampung dalam IKPMD, maupun beberapa fakultas, kampung-kampung yang memiliki biudaya komunitas akan turut meramaikan kegiatan ini,” ujarnya.
Untuk semakin meramaikan acara, panitia juga menyiapkan becak, andong dan gerobag untuk memfasilitasi alumni-alumni UGM yang ingin mengikuti Niti Laku namun secara fisik sudah berumur. Acara diawali di Pagelaran Kraton Yogyakarta dengan prosesi penyerahan Pataka, bendera atau tunggul dan sebelumnya digelar fragmen yang menceritakan lintasan sejarah boyongan kampus UGM dari Kraton menuju kampus Bulaksumur.
“Untuk peserta alumni sepuh, ada 67 becak, 19 andong, 5 gerobag. Selain itu, di sepanjang Malioboro akan berdiri 5 panggung yang akan menampilkan kesenian daerah kabupaten kota di DIY,” katanya.
Niti Laku dan Bhinneka Tunggal Ika
Dr. Zainal Abidin Bagir, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), mengatakan realitas-realitas peristiwa nasional akhir-akhir ini memang mengandung kekhawatiran terhadap potensi ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, pemerintah bersama masyarakat perlu bersungguh-sungguh merawat semangat ke Bhinneka Tunggal Ika.
Ada banyak masalah yang sebetulnya tidak terlalu serius, setidaknya jauh lebih kecil skalanya dibanding konflik-konflik di awal reformasi yang terkesan dibiarkan. Kini, masalah-masalah tersebut menjadi tumpukan masalah yang sulit dirampungkan, bahkan berpotensi menjadi bom waktu dimasa mendatang yang akan merusak tatanan kebangsaan Indonesia.
“Saya kira perlu dirawat sehingga tidak menjadi tumpukan masalah atau bom waktu di kemudian hari,” papar Zainal Abidin Bagir.
Bagi Zainal Abidin Bagir, upaya merawat dan menghidupkan semangat Bhinneka Tunggal Ika berarti juga bersikap berani menyelesaikan masalah-masalah sulit dan sensitif (SARA) melalui penegakkan hukum atau cara-cara penyelesaian yang berprinsip. Sedangkan di saat yang sama, perlu kesadaran bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar perayaan perbedaan dalam persatuan, namun mensyaratkan juga terjaminnya keadilan sosial ekonomi masyarakat, khususnya mereka-mereka yang termarjinalkan.
“Komitmen Nawa Cita perlu dilaksanakan secara komprehensif, tidak berdasarkan urutan prioritas yang pragmatis, yang kerap justru meminggirkan pokok-pokok persoalan terkait penghargaan perbedaan dan keberpihakan pada masyarakat yang terpinggirkan,” terangnya.
Pandangan senada disampaikan Sosiolog UGM, Dr. M. Najib, S.Sos., M.A. Dikatakannya, kebhinnekaan yang dimiliki bangsa Indonesia adalah sebuah keniscayaan sekaligus karunia yang harus selalu dijaga. Di tengah ruang diskursus kebangsaan yang sedang keruh akibat wacana-wacana yang tidak sehat dan kental berbalut prasangka, sudah semestinya kampus terpanggil keluar sebagai mata air inspirasi untuk pencerahan.
Menurutnya, situasi saat ini menjadi tantangan serius, karena banyak orang dari berbagai belahan dunia ingin belajar dari Indonesia. Indonesia dinilai berhasil menjalani fase transisi demokrasi relatif lebih baik dibanding dengan negara-negara, seperti Mesir, Thailand dan lain-lain.
Indonesia menjadi model di dunia mengenai pengelolaan multikulturalisme demokratis. Sebagai salah satu negara paling majemuk di dunia dan berpenduduk muslim terbesar, Indonesia telah membuktikan itu.
“Indonesia sebenarnya sedang menjadi rujukan. Di tengah proses itu, saya kira kita menghadapi tantangan-tantangan serius, mengenai proses Bhinneka Tunggal Ika, dan saya kira dengan rangkaian dies ini, UGM bisa menjadi bagian dari inspirasi bagi bangsa,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)