Kemampuan menjalankan ibadah haji sebagai rukun Islam ke-5 bagi yang mampu (istithoah) secara fisik, psikis dan finansial semakin meningkat. Seiring meningkatnya umur harapan hidup, maka jemaah haji usia lanjut (JHUL) di Indonesia semakin bertambah.
Peningkatan tersebut tentu membawa dampak semakin meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada golongan jemaah haji usia lanjut (JHUL). Golongan JHUL secara usia memiliki ciri-ciri fisik antara lain disertai berbagai kondisi kronis, seperti impairments, disabilities atau bahkan disease, yang tentunya berbeda dengan kondisi usia muda.
“Karena itu, sangat diperlukan pemahaman dan pelatihan penanganan para usia lanjut untuk Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dalam pengelolaan jemaah haji usia lanjut. Dengan pemahaman dan pelatihan penanganan diharapkan dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas,” ujar dr. Probosuseno, SpPD,K-Ger, di gedung Radiopoetro FK UGM, Senin (5/12).
Menempuh ujian terbuka doktor FK UGM dengan mempertahankan disertasi Pengaruh Pelatihan inovatif Terhadap Kinerja Petugas Kesehatan Haji indonesia, Kajian Geriatris Morbiditas, Mortalitas dan Cost-Effectiveness Jemaah Haji Indonesia Usia Lanjut, Probosuseno menyatakan ibadah haji memiliki kekhususan dibandingkan dengan ibadah lainnya. Ibadah ini hanya dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang tertentu, dengan situasi geografis yang berbeda dan dengan aktivitas fisik yang berat.
Diungkapkannya, jumlah Jemaah Haji (JH) berisiko tinggi (risti) dari tahun ke tahun meningkat (+ 60 persen). Tingginya jumlah JH risti ini menjadikan beban negara (high cost) karena berdampak morbiditas dan mortalitasnya yang juga tinggi.
“Diantaranya yang mendominasi adalah perawatan di Balai Pengobatan Haji Indonesia dan Rumah Sakit Arab Saudi sebesar 56 persen,” ungkap Probosuseno didampingi promotor Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D dan ko-promotor Prof. Dr. dr. Wasilah Rochmah, Sp.PD, K.Ger serta Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ., MPH.
Menurut Probosuseno, Fase Arofah saat wukuf yang dilanjutkan mabit di Muzdalifah, selanjutnya melempar jumrah dan mabit di Mina yang selanjutnya diikuti thowaf ifadhoh yang dikenal fase Armina dan postarminal/ pascaarmina merupakan “masa bahaya atau kritis”. Apalagi, kegiatan ini dilakukan secara massal dan menuntut fisik yang prima. Sementara disisi lain, terjadi penurunan kondisi fisik (kelelahan), iklim sangat panas dan kering.
Belum lagi, adanya lonjakan morbiditas dan mortalitas. Sementara itu, jumlah tenaga kesehatan yang melayani JH sangat terbatas, yaitu setiap satu pesawat ada tiga TKHI, bahkan terkadang Tenaga Kesehatan Haji Daerah harus mengawal 375 JH.
“Sehingga rasio TKI:JH sebesar 1 : 125. Ini tentu suatu beban yang besar, apalagi jika lokasi jemaah tidak berkumpul dalam satu hotel,” terangnya.
Beberapa masalah medis yang sering dijumpai pada usia lanjut adalah immobility, instability, intelectual impairment, insomnia, isolation/ depression, impotence, incontinence, impairment of vision & hearing, inatiation, irratabel colon, immune deficiency, infection, iatrogenic dan impecunity. Penyakit-penyakit yang terbanyak ditemui adalah nyeri sendi, hipertensi, bronchitis, diabetes mellitus dan dyspepsia.
Hasil penelitian Probosuseno menunjukkan bahwa pelatihan inovatif tidak menurunkan morbiditas jemaah haji lanjut usia rawat jalan, namun dapat menurunkan morbiditas jemaah haji usia lanjut dengan Odds ratio 2,94 dan secara statistik bermakna dengan p value 0,0002.
“Dengan pelatihan inovatif pula dapat menurunkan angka kematian jemaah haji lanjut usia terutama pada fase arofah, muzdalifah dan Mina (Armina) dan pascaarmina dengan Odds ratio 0,263 namun secara statistik tidak bermakna p value 0,207,” simpulnya.
Oleh karena itu, Probosuseno berharap materi-materi geriatrik dapat ditambahkan secara merata dengan mengadakan TOT pada pengelola program atau TKHI yang akan bertugas, termasuk dari Kementerian Agama serta KBIH. Sementara itu, karena masa tunggu calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji cukup lama (19 tahun) dan sebagai hajat nasional maka perlu disiapkan istithoah dari segi kesehatan. (Humas UGM/ Agung)