Anda pasti sudah tidak asing lagi dengan pesawat tanpa awak atau UAV. Namun, tahukan Anda bahwa sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil mengembangkan pesawat serupa bahkan menjuarai kompetisi nasional. Pesawat tanpa awak yang dikembangkan tim Gadjah Mada Flying Riset Center (Gamaforce) UGM sukses menyabet juara umum dalam Kontes Robot Terbang Indonesia 2016 yang digelar di Universitas Lampung, 23-26 November lalu.
Dalam kontes tersebut, Gamaforce menurunkan empat robotnya, yaitu Fiachra Aeromapper, Rasayana Racing Plane, Gadjah Mada Fighting Capter, dan Aksa Biantara. Dari keempat robot tersebut, tiga robot berhasil meraih juara dalam tiga kategori berbeda.
Adalah robot Fiachra Aeromapper UGM berhasil meraih juara pertama dari kategori fixed wing dan menyabet penghargaan khusus sebagai robot dengan sistem terbaik. Berikutnya, robot Rasyana memperoleh juara dua dari kategori racing plane. Selanjutnya, robot Aksa Biantara menyabet juara pertama di kategori technology development.
Perjuangan mempertahankan gelar juara bukanlah hal yang mudah bagi tim yang sudah berdiri pada tahun 2015 lalu ini. Sebelumnya, dalam kontes yang sama di tahun 2015, predikat juara umum berhasil diraih tim Gamaforce UGM. Nyatanya, perjuangan panjang dan penuh liku justru berhasil menempa mereka menjadi juara.
“Persiapan kita lakukan sekitar 1 tahun akhirnya bisa meraih hasil yang maksimal,” kata ketua Tim Gamaforce, M. Aldika Biyanto, Jum’at (9/12) di sela-sela acara demo pesawat dalam konferensi pers di Lapangan Pancasila UGM.
Pesawat rancangan tim Gamaforce ini layaknya pesawat UAV pada umumnya. Robot Fiachra Aeromapper merupakan UAV jenis fixed wing untuk pemantuan dan pemetaan wilayah. “Pesawat ini akan terbang secara auto untuk mengambil foto dan video steraming,”jelas Aldika.
Memiliki berat 4 kg karena badan pesawat terbuat dari material fiber composit. Dengan penggunaan material fiber composit menjadikan pesawat ini memiliki ketahan yang lebih kuat dibandingkan dengan pesawat lain berbahan styrofoam. Memiliki dua sayap dengan desain aerodinamis dengan lebar bentang sayap (wingspan) 2,45 meter.
“Pesawat ini menggunakan bateri berkapasitas 6.200mAh yang dapat terbang selama 30 menit,” tambah Lazuardi Ichsan, anggota pengembang robot Fiachra Aeromapper.
Lazuardi menambahkan pesawat monitoring ini merupakan jenis launcher. Pesawat akan dilontarkan dengan launcher sehingga akan terdorong ke atas lalu motor pesawat yang akan bekerja selanjutnya.
Menurut Lazuardi, pesawat yang mereka kembangkan selain stabil dan memiliki ketahanan terbang tinggi, juga memiliki wing loading kecil. Disamping itu, gimbal buatan sendiri, mudah dibongkar pasang, memiliki kontrol permukaan dan struktur sederhana serta menggunakan fully automated tracker untuk video streaming dan telemetri.
Sementara itu, pesawat Rasayana Racing Plane merupakan pesawat yang dirancang untuk menyelesaikan misi terbang cepat, aman dan akurat pada jalur misi. Memiliki spesifikasi berat 1,5 kg dengan panjang pesawat 1,1 meter dan panjang bentang sayap 1,2 meter. Badan pesawat terbuat dari material composite, sedangkan sayap dari foam core composite.
“Dilengkapi dengan baterai Li-Po Bonka 4s 1.200 mAh yang kuat terbang sampai 20 menit,” jelas salah satu pengembang Rasayana, Umar Fadhil Ramadhan.
Dalam KRTI 2016 kemarin, pesawat ini mampu menyelesaikan misi terbang sejauh 700 meter dengan catatan waktu 26,16 detik. Selanjutnya, kembali ke base secara cepat dan selamat.
Berikutnya, pesawat Aksa Biantara yang merupakan pesawat UAV berbentuk quadcopter juga berhasil dikembangkan oleh Gamaforce secara mandiri. Adapun teknologi yang dikembangkan secara mandiri meliputi flight controller, auto antenna tracker, dan ground control station.
Flight controller yang dikembangkan pada wahana quadcopter dengan kemampuan autonomous mode (tanpa kendali) seperti auto take-off, auto landing, waypoint autonomous, serta psition hold.
“Pengembangan flight controller ini adalah versi pertama kami. Ini akan terus dikembangkan hingga mengimbangi flight controller impor yang beredar dipasaran, bahkan dengan kualitas yang lebih baik,” kata Fransiskus Anindita Kristiawan PGS, tim pengembang Aksa Biantara.
Sementara itu, auto trackler merupakan alat untuk memaksimalkan kinerja antena pengarah untuk memenuhi misi, seperti pemantauan jarak jauh. Ground control station dibuat untuk mengembangkan interface kendali operator secara mandiri.
“Fitur yang telah dikembangkan antara lain map, live streaming video, auto antena tracker system, dan menampilkan data sensor pada wahana,” terangnya.
Pesawat lainnya yang juga dikembangkan tim Gamaforce adalah Gadjah Mada Fighting Copter (GMFC). Robot terbang ini dibuat dengan menggunakan sistem vertical take-off landing. Didesain untuk keperluan memadamkan api saat terjadi bencana kebakaran di suatu kawasan.
“Robot quadcopter ini dapat menyusuri wilayah yang terjadi kebakaran secara fully autonomous,” jelas Wasis Adi, tim robot GMFC.
GMFC dilengkapi dengan kamera sebagai sensor. Kamera ini yang digunakan untuk mendeteksi letak titik api. Data letak titik api yang ditangkap kamera dikirim ke mini komputer yang dipasang pada wahana quadcopter yang selanjutnya diproses agar wahana dapat berjalan menuju titik api tersebut. Untuk memadamkan api, GMFC dilengkapi dengan tangki air yang diletakkan di bagian belakang wahana pesawat. Pesawat ini dapat kembali ke titik awal penerbangan secara otomatis jika titik-titik api sudah berhasil dipadamkan.
Saat ini, Gama Force beranggotakan 52 mahasiswa lintas jurusan dari Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, dan Sekolah Vokasi. Dibawah bimbingan Gesang Nugroho, S.T., M.T., Ph.D., hingga kini Gamaforce telah berhasil menciptakan sekitar 18 pesawat tanpa awak.
Gesang berharap melalui komunitas Gamaforce ini dapat dihasilkan lebih banyak lagi pesawat tanpa awak yang nantinya dapat dimanfaatkan masyarakat luas. Tidak hanya berhenti pada pengembangan pesawat untuk kepentingan kompetisi semata. Pesawat yang dikembangkan nantinya diharapkan dapat dimanfaatkan untuk membantu kegiatan pemetaan udara, dan pemantauan daerah perbatasan, maritim, bencana, serta kawasan perbatasan.
“Kita targetkan hilirisasi agar bisa dimanfaatkan masyarakat luas,” tuturnya.
Untuk saat ini, terdapat tiga prototipe yang terus dikembangkan secara serius. Prototipe UAV tersebut adalah berjenis fixed wing yang mampu terbang di jarak pendek untuk melakukan foto dan pemetaan udara. Kemudian jenis medium range yang bisa terbang hingga jarak 15-20 km dan long range yang ditargetkan mampu terbang sampai jarak 200 km untuk pemetaan dan monitoring wilayah. (Humas UGM/Ika; foto:Donnie).