Di tengah semakin banyaknya produksi film dalam negeri, industri perfilman nasional hari ini masih menghadapi berbagai kendala untuk menembus pasar internasional. Menurut sineas muda, Nursita Mouly Surya, salah satu penyebabnya terletak pada karakter film Indonesia yang hanya cocok untuk orang Indonesia, tidak seperti film Hollywood yang memiliki nilai universal.
“Film Indonesia itu seperti film India, hanya dibuat khusus untuk orang di negara itu saja. Misalnya, film religi atau drama keluarga, itu hanya laku di Indonesia, di luar tidak. Mungkin karena pasar di Indonesia saja sudah besar, buat apa cari di luar,” ujar Mouly dalam diskusi bertajuk Creative Action to Develop Global Business: the Magic of Film Industry, Sabtu (10/12) di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Ia mencontohkan film-film Hollywood seperti film Spiderman yang mampu menguasai pasar perfilman global karena mengangkat nilai yang universal serta cerita dan bisa dikaitkan dengan kehidupan banyak orang.
“Cerita seorang kutu buku yang naksir dengan perempuan paling cantik di sekolahnya lalu tiba-tiba jadi pahlawan, itu seperti keinginan banyak orang. Siapa yang tidak mau jadi seperti itu. Film seperti ini tidak membawa klaim tapi entertaining dan relatable,” ujarnya.
Mouly sendiri merupakan sineas muda yang sudah meraih pengakuan di beberapa festival film internasional. Bersama suaminya, Parama Adi Wirasmo, ia sukses dengan film berjudul Senyap atau The Look of Silence yang pernah masuk menjadi nominasi Piala Oscar 2016. Film terbarunya, Marlina and the Murderer in Four Acts, juga masuk seleksi L’Atelier Cinefoundation di Festival Film Cannes 2016.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Dashboard for Excellence Quality and Productivity Improvement (DEQPI) FEB UGM ini, Mouly dan Rama menceritakan perjuangan mereka untuk memasuki industri film serta berusaha untuk menembus pasar perfilman Indonesia. Hal ini ia akui bukan perkara yang mudah mengingat sistem industri perfilman Indonesia yang mengharuskan produsen film untuk terjun langsung demi menangkap pasar.
“Kalau di luar, ada distributor yang mengurus distribusi dan pemasaran film ke pasar. Di sini lebih spontan, produsen langsung datang ke pasar untuk jualan, seperti pasar kaget,” katanya.
Ia juga menyayangkan minimnya etalase seperti festival film yang mampu memberikan ruang bagi pembuat film untuk memperkenalkan karyanya kepada masyarakat layaknya berbagai festival film besar di beberapa negara di Eropa.
“Secara budget memang kita tidak bisa bersaing dengan film Barat yang ongkos produksinya jutaan dolar. Tapi kita bisa masuk melalui nilai artistik. Untuk itu, pemerintah harus menyediakan etalase film,” imbuh Mouly.
Hal serupa juga disampaikan oleh Rangga Almahendra yang berada di balik kesuksesan film 99 Cahaya di Langit Eropa serta Bulan Terbelah di Langit Amerika yang diangkat dari novel yang ia buat bersama istrinya, Hanum Salsabila Rais. Dosen FEB UGM ini mengisahkan tantangan yang harus ia hadapi untuk membawa filmnya menembus pasar dalam negeri yang saat itu didominasi oleh film horor.
“Tahun 2013 bioskop Indonesia didominasi oleh film bermuatan horor dan seks. Karena itu, banyak yang memicingkan sebelah mata saat saya membawa film pertama saya. Katanya, film saya tidak sesuai dengan semangat yang ada saat itu,” kisahnya.
Ia mengakui bahwa persaingan di dalam industri film memberikan kesulitan tersendiri bagi produsen film untuk mendobrak tren dengan jenis film yang berbeda. Dengan banyaknya jumlah film yang dirilis, sementara jumlah bioskop justru berkurang atau tetap, memproduksi film dengan biaya murah dan dapat menarik banyak penonton menjadi hal yang realistis untuk dilakukan.
“Itu adalah sikap realistis menghadapi industri film yang sangat mengerikan, investasi sekian miliar hanya ditentukan pada 3 hari pertama. Film dulu bisa sukses karena bisa tayang beberapa bulan, sementara sekarang banyak yang hanya bisa tayang 3-5 hari,” papar Rangga.
Meski demikian, ia mengaku bersyukur film garapannya akhirnya mendapat sambutan yang baik berkat beragam upaya pemasaran yang ia kerjakan dengan melibatkan para mahasiswanya. Ia juga menyampaikan pentingnya menjaga konsistensi kualitas untuk dapat tetap bertahan di tengah persaingan saat ini.
“Pemasaran tidak ada artinya tanpa produk berkualitas. Iklan hanya menentukan berapa banyak penonton di hari pertama. Untuk bisa bertahan, itu tergantung pada kualitas,” imbuhnya. (Humas UGM/Gloria)