Proses panjang peradilan di Indonesia rentan terhadap praktik-praktik korupsi. Meski telah terbit buku berjudul Menyingkap Tabir Mafia Peradilan yang diterbitkan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2001, praktik-praktik tersebut justru semakin menjadi.
Bahkan, sesuatu yang tadinya dibayangkan tidak akan terjadi sebagai tindak kejahatan, kini terjadi dan menjadi nyata dalam praktik mafia peradilan. Salah satunya adalah praktik joki narapidana. Beberapa praktik lain yang semakin hari modusnya semakin canggih dan terorganisasi.
“Proses panjang peradilan rentan terhadap praktik korupsi. Berbicara korupsi di lembaga hukum itu ada dua yaitu terkait korupsi saat proses peradilan dan korupsi di luar proses peradilan, promosi, mutasi, pengadaan barang dan jasa dan lain-lain,” ujar Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Jum’at (9/12) di Fakultas Hukum UGM saat berlangsung Bedah Buku Menyingkap Mafia Peradilan di Indonesia.
Menurut Emerson Yuntho, banyak istilah muncul akibat praktik-praktik koruptif mafia peradilan di Indonesia. Diantaranya, istilah melapor kambing keluar sapi, artinya seseorang melapor soal kehilangan kambing namun untuk memproses soal tersebut harus mengeluarkan biaya sebesar harga sapi.
“Ini tentu fenomena menarik, aparat hukum bekerja bukan atas tugas dan pekerjaan mereka, namun sudah dikotori praktik-praktik seperti setoran atau harus bayar dulu kemudian bisa diproses,” katanya.
Meski telah berusia 15 tahun, bagi Emerson, buku Menyingkap Mafia Peradilan di Indonesia tetap menarik dan relevan untuk kondisi saat ini. Bahkan, banyak orang kemudian mempertanyakan banyak hal, termasuk efektivitas dalam upaya memberi terapi praktik mafia peradilan.
“Membicarakan buku ini, walaupun beberapa orang menganggap riset yang usang, tetapi ini masih tetap up date sampai sekarang. Relevan sampai kini, salah satunya untuk kasus pengadaan barang dan jasa yang merugikan negara hampir 30 milyar rupiah,” katanya.
Kalapun kemudian korupsi semakin berkembang, Emerson melihat hal itu karena political will dan pengawasan yang dilakukan pemerintah sangat rendah. Belum lagi, akibat remunerasi dan gaji hakim yang tidak menggembirakan menjadi sebagai salah satu pendorong munculnya mafia peradilan.
Menanggapi fenomena mafia peradilan ini, Dr. Zainal Arifin Mochtar, aktivis PUKAT UGM, menilai Indonesia cenderung membangun kewenangan peradilan namun tidak diikuti konsep dan mekanisme pengawasannya yang baik. Misalnya saja, pada Peradilan Pajak.
“Saya selalu membisiki Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan. Karena peradilan pajak betul-betul jauh dari kesan sebuah peradilan, bagaimana terlihat hakimnya membela pengacara, mungkin karena hakim-hakimnya juga mantan-mantan pegawai Kementerian Keuangan,” tuturnya.
Di tingkat pragmatis, Zainal Mochtar menyebut ada masalah di tingkat pembiayaan. Dengan postur anggaran sekitar 2000 triliun, 400 triliun untuk anggaran pendidikan, 300 triliun cicilan hutang, sedangkan 600 triliun untuk gaji pegawai.
“Jadi ruang fiskal kita kecil, sekarang saja perkara yang masuk ke kepolisian sebanyak 360 ribu per tahun. Dari pos anggaran maka dana tersebut hanya bisa dipakai paling untuk 120 ribu perkara, pertanyaannya 240 ribu mau dimbil dari mana dananya. Makanya, terkadang jaksa diminta untuk menyelesaikan satu perkara untuk membiayai kasus yang lain,” katanya.
Zainal mengakui selama masih ada supplay dan demand maka sulit memberantas mafia peradilan di Indonesia. Apalagi, kemudian ada banyak faktor yang kemudian mempercepat sistem terjadinya tindak koruptif dan di saat yang sama negara tidak membangun katub pengaman.
“Oleh karena itu, reformasi hukum kalau memang ditawarkan memang harus lebih cepat dan lebih komprehensif. Mafia peradilan itu besar, kalau membedahnya dengan pisau kecil itu konyol. Yang perlu disiapkan adalah meriam, dan yang menyiapkan meriam itu mestinya KY, MA, Kejaksaan,” tandasnya.
Diskusi bedah buku Menyingkap Mafia Peradilan di Indonesia digelar Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan komunitas Jaringan Anti korupsi Yogyakarta, ICW, Komisi Yudisial RI dan ICM. Bedah buku digelar dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi. (Humas UGM/ Agung)