Jalak Bali adalah burung endemik Pulau Bali, dan distribusinya hingga tahun 2005 hanya ada di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Di TNBB, Jalak Bali menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi, bahkan sejak tahun 1966 dimasukkan ke dalam kategori kritis (Critically endangerde) IUCN Red List of Treatened Species.
Selain itu, CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of wild Fauna and Flora) memasukkan burung tersebut ke dalam Appendix I. Pemerintah Indonesia sendiri melindungi Jalak Bali dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
“Usaha Konservasi Jalak Balik telah dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, BirdLife International Indonesia Programme dan Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) dengan melepasliarkan burung tersebut di TNBB. Pada tahun 2001 – 2009 telah dilepasliarkan lebih dari 95 ekor Jalak Bali,” ujar Sudaryanto di Fakultas Biologi UGM, Kamis (15/12) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor.
Sayang, konservasi Jalak Bali yang dilakukan di TNBB belum membuahkan hasil. Oleh sebab itu, mulai tahun 2006 usaha konservasi Jalak Bali juga dilakukan oleh Friends of the National Parks Foundation (FNPF). Konservasi oleh FNPF ini dilakukan di pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung, karena pulau tersebut memiliki hukum adat atau awig-awig yang mewajibkan masyarakatnya melindungi burung tersebut.
“Awig-awig adalah hukum adat yang merupakan ajaran Agama Hindu, dan masyarakat Bali sangat menaatinya. Bahkan, Jalak Bali dilepasliarkan di Pura Penataran Ped pulau Nusa Penida yang sangat sakral di pulau Bali dengan upacara agama, sehingga burung tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai burung milik Pura (Duwe pura) dan mereka menjaga kehadiran burung itu,” dosen Program Studi Biologi FMIPA Universitas Udayana, Bali.
Hasil penelitian Sudaryanto memperlihatkan dengan awig-awig maka Konservasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida mendapatkan hal-hal baru. Burung Jalak Bali di daerah itu aman dan cacah individunya bertambah. Daerah ini memiliki daya dukung habitat yang baik, sehingga menjadikan Jalak Bali dapat berkembang biak setahun tiga kali, sementara di TNBB hanya satu kali.
“Di Kepulauan Nusa Penida, ini Jalak Bali minum nektar bunga ki acret (Spathodea campanulata) dan dengan ketinggian 0 m dpl – 134 m dpl, merupakan ketinggian yang sesuai untuk perkembang biakkan Jalak Bali,” jelasnya.
Di akhir paparan, Sudaryanto mengingatkan sebagai burung endemik Pulau Bali yang termasuk kategori kritis, diduga Jalak Bali dalam waktu 10 tahun tetap memiliki risiko kepunahan lebih dari 50 persen. Oleh karena itu, agar Konservasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida tetap berhasil dan semakin bertambah maka semua itu harus tetap dijaga dalam melestarikan habitat burung tersebut.
“Awig-awig yang merupakan patokan bertingkah laku akan melindungi itu. Karena itu, diharapkan Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten dan Kota, DPRD Tingkat I dan II, Lembaga Desa Adat dari Tingkat Provinsi hingga desa untuk bisa memasukkan perlindungan Jalak Bali dalam awig-awig Desa Adat di seluruh Pulau Bali,” katanya. (Humas UGM/ Agung)