Berbicara keterbukaan informasi, terlebih keterbukaan informasi ilmiah maka Perguruan Tinggi di Indonesia masih setengah-setengah melakukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar kalangan ilmiah memiliki rasa takut bila karyanya ditiru (diplagiat). Sementara itu, muncul pula kekhawatiran jika keterbukaan informasi ilmiah dibuka selebar-selebarnya maka bisa-bisa karya dari berbagai Perguruan Tinggi yang plagiat-plagiat juga akan ketahuan.
Menurut Drs. Ida Fajar Priyanto, M.A., Ph.D, situasi tersebut menjadi sangat menarik karena di satu sisi tidak mau membuka karena takut diplagiat. Di sisi lain, karya-karya mereka yang mungkin plagiat akan bisa diketahui publik.
“Inilah kondisi dilematis yang membuat kita lemah dalam pengembangan keilmuan. Mesti begitu, tetap ada solusinya karena dengan menjelaskan keterbukaan informasi akan meningkatkan visibilitas Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi akan lebih dikenal, demikian juga peneliti-peneliti sehingga akan meningkatkan reputasi,” ujar Ida Fajar, pada acara Forum Indonesia-Malaysia, Kolokium Sains Informasi, di Perpustakaan UGM, Selasa (20/12).
Ida Fajar menyatakan kalangan ilmuwan dan akademisi mestinya bisa menyingkirkan kekhawatiran tersebut karena mereka dan karya-karyanya dilindungi hukum. Satu hal yang kemudian perlu dilakukan adalah menyadarkan mereka akan pentingnya keterbukaan informasi ilmiah.
“Semua itu, dengan harapan agar kita semakin mampu mengembangkan informasi terutama informasi ilmiah dan berbagi kepada masyarakat lain. Dengan begitu maka pengetahuan atau keilmuan itu bisa berkembang dengan lebih cepat,” katanya.
Forum Indonesia – Malaysia Kolokium Sains Informasi diselenggarakan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM bekerjasama dengan Manajemen Informasi Pascasarjana UGM, University of Malaya dan University Technology MARA. Forum membahas banyak hal terkait riset data manajemen dan pengelolaan data, repository dan pemanfaatan e-book. Dibahas pula pemberdayaan sumber-sumber resource digital, perkembangan teknologi, grafik, literasi informasi, literasi media dan lain-lain.
Ida Fajar mengakui telah terjadi pergeseran keilmuan karena perpustakaan kini menjadi science informasi. Dengan science informasi ini maka banyak hal bisa dilakukan, diantaranya penggunaan fasilitas digital, mendapat informasi dan bagaimana berinteraksi dengan berbagai alat berbasis digital.
“Perpustakaan memfasilitasi mereka-mereka yang telah berubah itu. Semua sudah berubah maka perilakunya juga sudah berubah. Kita pun akan membantu untuk membangun perpustakaan sebagai bagian dari jaringan dan kita berproses kesana,” tuturnya.
Forum Indonesia – Malaysia Kolokium Sains Informasi menghadirkan banyak pembicara, diantaranya Dr. Nor Edzan Nasir (UM) membahas Research Data Management & University Library, Dra. Luki Wijayanti, S.IP., M.Si (UI) berbicara soal Research & Data Repository, Dr. Che Zainab (UiTM) mengupas terkait pemanfaatan E-Books & Library Return on Investment dan Dr. Nurul Diana Jasmi (UiTM) membahas Application & Best Practise of Media Integration Strategy. Turut Berbicara Dra. Wina Erwina, M.A (UNPAD) yang membicarakan Institutional Memory, Dr. Jammizan Jalaludin (UiTM) Graphic Art for Community dan Dr. Khasiah Zakaria (UiTM) Information Literacy Integrated Module: An Innovation of Embedded Librarianship.
Sementara itu, Dra. Woro Salikin, M.L.S., Deputy Perpustakaan Nasional Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, mengungkapkan jika Perpustakaan Nasional telah bertransformasi dalam memberikan informasi dalam bentuk digital dengan segala rujukan-rujukannya. Secara garis besar, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk pemenuhan fasilitas-fasilitas.
Khusus untuk para peneliti, kata Woro, Perpustakaan Nasional memiliki rujukan-rujukan yang sangat lengkap. Berbagai fasilitas-fasilitas itu bisa dirasakan manfaatnya secara langsung. “Ada komunitas, juga fasilitas online semacam one search dan lain-lain,” katanya. (Humas UGM/ Agung)