Pembangunan Hak Asasi Manusia dan krisis kemanusiaan yang melanda berbagai wilayah di Asia Tenggara menjadi tantangan bagi negara-negara anggota ASEAN. Pasalnya, untuk mewujudkan aksi kemanusiaan antar lintas negara tidaklah mudah karena adanya tingkat resistensi dan proteksi negara dan masyarakat lokal. Untuk itu, diperlukan kesepakatan bersama untuk mewujudkan aksi kemanusiaan dan pembangunan HAM antar negara. Hal tersebut mengemuka dalam seminar yang bertajuk Humanitarian Challenge in South East Asia:Capacity and Research, di ruang Sekip University Club UGM, Selasa (20/12).
Seminar yang diselenggrakan oleh Universitas Gadjah Mada, Network on Humanitarian Action (NOHA) dan European Commissionn ini menghadirkan pembicara, diantaranya President NOHA, Prof. Joost Herman, Dosen Hubungan Internasional FISIPOL UGM, Dr. Muhadi Sugiono, peneliti dari University of Social Science and Humanity, Vietnam, Anh Thu Vu, dan peneliti sosial dari Chiang Mai University, Thailand, Arratee Ayuttacorn, Ph.D.
Muhadi Sugiono mengatakan kawasan Asia Tenggara merupakan daerah yang rawan terkena bencana. Bahkan, berbagai krisis kemanusian yang melanda beberapa negara tersebut seharusnya menjadi bagian dari komponen aksi kemanusiaan yang dilakukan antar negara lewat peneliti, pemerintah dan sukarelawan. Namun, untuk melakukan aksi kemanusiaan tersebut memerlukan respons di tingkat pemerintah dan masyarakat lokal. “Kita ingin adanya kesepahaman dan kebersamaan dalam setiap aksi kemanusiaan ini,” katanya.
Menurutnya, program aksi kemanusiaan baik di tingkat lokal dan regional perlu dikembangkan sehingga program ini bisa dilaksanakan lintas negara demi terwujudkan Asean Community,” Peningkataan akses dan akseptabilitas masyarakat lokal terhadap aksi kemanusiaan perlu ditingkatkan,” katanya.
Sementara itu, Arratee Ayuttacorn, Ph.D menyampaikan perkembangan penegakan HAM di Thailand setelah dipegang oleh pemerintah junta militer. Menurut hasil penelitiannya, pemerintah junta militer saat ini mengklaim bahwa negaranya belum siap melaksanakan referendum konstitusi atau melaksanakan pemilihan umum. “Situasi Thailand saat ini tidak ubahnya dengan kemunculan otoritarianisme. Sepanjang tahun 2015, sebanyak 60 kegiatan yang berkaitan dengan politik dan HAM seperti seminar, panel diskusi akademisi dibubarkan,” katanya.
Meski demikian, tingkat kekerasan konflik dalam dua tahun terakhir menurun setelah ada dialog damai antara pemerintah dengan kelompok separatis. “Keduanya berkomitmen untuk mengedepankan HAM dan meminimalkan kekerasan,” katanya.
Arratee mengakui keterlibatan PBB, Amerika Serikat, Uni Eroa dan Jepang yang melakukan pendekatan persuasif dengan pemerintah cukup efektif dalam upaya menggalakkan penegakan dan pembangunan HAM.
Anh Thu Vu pada kesempatan itu mengatakan Vietnam merupakan negara yang rentan terkena bencana alam dan terkena dampak perubahan iklim. Sekitar 70 persen warga Vietnam, katanya, rentan berisiko terkena dampak bencana alam. “Bencana tersebut menyebabkan kemiskinan, kehilangan status gender dan status sosial dan ekonomi warga. Namun, di Vietnam tidak ada konflik dan teroris,” imbuhnya.
Di tempat sama, Prof. Joost Herman mengatakan pihaknya mendukung adanya riset dan aksi kemanusiaan yang dilakukan akademisi di perguruan tinggi untuk melakukan kolaborasi riset di tingkat lokal dan regional maupun internasional. “NOHA mengundang partisipasi akademisi dan peneliti dalam penguatan pendidikan, riset dan pelatihan bagi aktor kemanusiaan,” ujarnya.
Kerja sama antar peneliti dan mahasiswa tersebut, imbuh Joost, akan mampu membangun jaringan yang kuat antar universitas bahkan mampu meningkatkan kerja sama Utara-Selatan maupun kerja sama Selatan-Selatan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)