Pertama kali hak gugat organisasi lingkungan hidup atau legal standing organisasi lingkungan hidup menjadi isu hukum pada saat WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengajukan gugatan pencemaran dan perusakan lingkungan terhadap lima instansi pemerintah (Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Sumatra Utara) dan PT. Inti Indorayon Utama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1988. Dalam putusannya No. 820/PDT.G/1988 PN. JKT PST tanggal 14 Agustus 1989, majelis hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.
Meski begitu, hal tersebut perlu diapresiasi karena hakim menerima legal standing WALHI, dan WALHI sebagai pihak tidak terkena dampak lingkungan maupun bukan kuasa dari orang yang terkena dampak lingkungan. Keputusan tersebut menjadi preseden bagi sengketa-sengketa lingkungan hidup yang kemudian telah berhasil memasukkan upaya legal standing secara eksplisit dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU No.32 Tahun 2009 (UUPPLH).
“Dulu bentuk legal standing ini belum ada pengaturannya dalam hukum acara perdata di Indonesia. Sebagai hal yang baru tentulah pada awalnya gugatan semacam ini belum dapat diterima oleh para hakim, namun akhirnya ada hakim yang berani dan menerima organisasi lingkungan hidup sebagai pihak dalam gugatan perdata,” ujar Fajar Winarni, S.H., M.Hum, di Fakultas Hukum UGM, Rabu (21/12).
Menempuh ujian doktor Ilmu Hukum UGM dengan promotor Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., L.L.M dan ko-promotor Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si, Fajar Winarni menjelaskan berdasarkan pada sistem hukum acara perdata konvensional atau hukum acara perdata yang biasanya berlaku, maka doktrin perbuatan melawan hukum di Indonesia menganut asas “point d’interest, point d’action” atau tiada gugatan tanpa kepentingan hukum, yang berarti bahwa seseorang ataupun kelompok dikatakan dapat memiliki standing apabila terdapat kepentingan hukum. Dalam legal standing, organisasi lingkungan bukanlah pihak yang mengalami kerugian.
“Penerimaan sebagai pihak itu pun setelah melalui proses panjang, setelah beberapa kali gugatan diajukan dalam bentuk legal standing yang pada awalnya ditolak oleh hakim dengan alasan tidak diatur dalam hukum acara Indonesia. Namun, sejak tahun 1988 terjadi perubahan paradigma hakim tentang peran organisasi lingkungan,” jelas dosen Fakultas Hukum UGM itu.
Mempertahankan disertasi berjudul Kajian Yuridis Legal Standing Organisasi Lingkungan Hidup di Indonesia, Winarni menandaskan Legal Standing organisasi lingkungan hidup diperlukan bagi perlindungan lingkungan hidup karena dengan pemberian Legal Standing pada organisasi hidup untuk beracara di pengadilan sebagai wali bagi lingkungan hidup, berarti lingkungan hidup secara implisit telah diakui memiliki hak. Meski begitu, pengakuan Legal Standing organisasi lingkungan hidup di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai perwujudan dari teori yang digagas oleh Christopher D. Stone karena peraturan perundang-undangan lingkungan hidup di Indonesia belum ada ketentuan yang secara jelas mengakui adanya hak bagi lingkungan hidup.
Karena itu, menurut Fajar Winarni, perlu segera dibuat peraturan yang lengkap mengenai Legal Standing organisasi lingkungan hidup sehingga di masa datang akan lebih banyak organisasi lingkungan hidup yang menggunakan hak gugatnya demi kepentingan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain itu, dari segi peraturan diharapkan bisa meningkatkan kapasitas atau kemampuan aparat penegak hukum. (Humas UGM/ Agung)