Fenomena praktik gaya hidup mewah di kalangan masyarakat menengah bawah semakin banyak bermunculan di Indonesia. Praktik-praktik yang muncul akibat konsumerisme ini terjadi di berbagai daerah baik kota maupun desa.
Tri Harmaji, S.Th., M.Th., pembina penerjemah di Lembaga Alkitab Indonesia, menyebutkan praktik gaya hidup mewah merupakan sebuah praktik konsumsi barang-barang simbolik dengan tujuan membentuk dan menampilkan sebuah identitas yang lebih tinggi dari identitas asli pelakunya. Praktik ini semakin banyak terjadi karena pembeda kelas sosial antara yang kaya dan miskin semakin jelas.
“Orang kaya begitu mendapat penghormatan dan sebaliknya orang miskin mendapat penghinaan. Akibatnya, banyak yang ingin menjadi orang kaya dan bagian dari orang-orang yang memperoleh penghormatan di masyarakat,” urainya, Rabu (21/12) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Mempertahankan disertasi berjudul “The Practice of High Lifestyle Diantara Orang-orang Kelas Menengah bawah di Indonesia” dalam ujian terbuka program studi Inter Religious Studies (IRS) UGM, Tri Harmaji menyebutkan bahwa mendapat penghormatan di masyarakat juga menjadi impian masyarakat kelas menengah bawah. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mempraktikan gaya hidup mewah melalui penggunaan barang-barang simbolik mereka dan berusaha tampil layaknya orang kaya.
“Orang-orang kelas bawah berusaha mengadopsi gaya hidup yang sebenarnya secara ekonomi tidak mampu untuk mendapatkan penghormatan seperti yang diperoleh orang kaya. Fenomena ini terjadi di semua tempat dan golongan baik di kota besar maupun pedesaan,” paparnya.
Melakukan penelitian di Kota Jakarta dan Salatiga, Tri Harmaji mendapatkan fakta bahwa praktik gaya hidup mewah ini banyak dilakukan oleh kalangan remaja, namun begitu juga tidak sedikit dilakukan oleh kalangan yang lebih tua. Praktik ini membuat seseorang cenderung menjadi pemilih dalam hal pertemanan. Mereka memilih teman yang dapat membantu untuk menaikkan tangga kelas sosial.
“Dalam beberapa kasus memilih teman dimulai dengan pembentukan citra demi mendapatkan sebuah status sosial yang lebih tinggi,”ujarnya.
Hal tersebut memunculkan konsekuensi adanya kecenderungan seseorang untuk menjadi semakin superfisial. Fokus pelaku praktik gaya hidup mewah yang hanya pada penampilan luar telah membawa mereka dari nilai-nilai moral dan agama yang mendalam pada hal-hal dangkal dan superfisial. Dalam penelitian itu juga terungkap informan berulang kali berbicara mengenai nilai-nilai moral spiritual sebagai sesuatu yang berharga seperti cinta kasih dan kesederhanaan. Namun, pada saat yang sama mereka juga berbicara tentang pentingnya penampilan luar dan mengejar kekayaan.
Kecenderungan ini, dikatakan Tri Harmaji, terlihat jelas pada mereka yang tergolong dalam pelaku gaya hidup mewah ekstrim, tetapi juga cukup kuat pada kelompok moderat. Dalam kelompok moderat, meski tidak terjun sedalam para pelaku kelompok ekstrim, tetapi benih-benih kekaguman terhadap penampilan luar sudah berkembang cukup kuat bahkan siap meledak jika terdapat pembenaran dari para penjaga nilai baik spiritualis dan moralis.
“Yang membedakan adalah jika kelompok ekstrim berani mengabaikan nilai-nilai maka kelompok moderat ingin mengubah nilai-nilai itu terlebih dulu,”tuturnya.
Praktik sosial ini, kata Tri Harmaji, menjadi menarik saat dikaitkan dengan fakta lain yaitu para pelaku praktik gaya hidup mewah adalah penganut agama yang justru mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan. Padahal, melakukan praktik gaya hidup mewah bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama. Sementara itu, dalam wawancara yang dilakukan tidak sedikit infroman yang berpandangan bahwa kekayaan itu baik secara agama.
“Fakta ini menggambarkan mulai melemahnya agama sebagai agen yang mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan,”jelasnya. (Humas UGM/Ika)