Pembangunan perkeretaapian Indonesia dinilai lambat. Keterlambatan tidak hanya terjadi pada perkembangan sarana-prasarana dan jumlah penumpang. Namun, juga pada perkembangan sumber daya manusia serta pengoperasian kereta api meliputi berbagai metode terkait perencanaan, perancangan, dan pengoperasian kereta api.
Yuwono Wiraco, Staf Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, Ditjen Perkeretaapian Kementrian Perhubungan, menyebutkan bahwa hingga kini metode penentuan kapasitas jalur kereta api belum berkembang dengan baik. Padahal, metode ini merupakan salah satu metode penting dalam pengoperasian kereta api.
“Pembangunan perkeretaapian dari sisi sarana-prasarana tidak bisa digunakan secara optimal jika tidak didukung dengan pengaturan pola operasi kereta api yang maksimal,” jelasnya Kamis (22/12) saat ujian terbuka program doktor di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM.
Kondisi tersebut mendorong Yuwono untuk mengkaji lebih dalam untuk mengetahui metode yang tepat dalam menghitung kapasitas jalur kereta api di Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan di lintasan Kroya-Kutoarjo-Yogyakarta diketahui terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi kapasitas jalur kereta api.
Beberapa diantaranya adalah jumlah kereta, heterogenitas, stabilitas, kecepatan, infrastruktur, pengoperasian, dan panjang kereta. Berikutnya, waktu delay, persimpangan, sinyal, sumber daya, jadwal, jumlah jalur, panjang lintasan, jarak sinyal, pemberhentian, dan perawatan.
Sementara faktor utama yang memengaruhi kapasitas jalur kereta api adalah faktor jarak antar stasiun, kecepatan kereta api, serta waktu tempuh antar stasiun. Selain itu, juga dipengaruhi waktu yang tersedia untuk pengoperasian kereta api.
Temuan lain memperlihatkan bahwa penghitungan kapasitas jalur kereta api yang digunakan di Indonesia saat ini adalah persamaan formula [10] dan [11]. Dari persamaan tersebut diketahui terdapat komponen persamaan yang tidak tepat yaitu adanya nilai tp yang merupakan waktu perjalanan dari sebelum sinyal muka stasiun A bagi kereta api kedua dengan asumsi jarak 3 km.
Menurutnya, nilai ini seharusnya tidak perlu dimasukkan. Kereta api tidak perlu berhenti sebelum memasuki stasiun sepanjang kapasitas stasiun lebih besar atau minimal sama dengan kapasitas jalur kereta api. Data penelitian juga mencatat sebagian besar kereta api tidak berhenti di setiap stasiun baik di jalur tunggal yakni lintasan Kroya-Kutoarjo maupun jalur ganda di lintaan Kutoarjo-Yogyakarta.
Melihat fakta tersebut, Yuwono memandang perlunya penyelenggaraan perjalanan kereta api dengan memprioritaskan ketepatan jadwal perjalanan kereta api. Dengan demikian, penggunaan kapasitas jalur kereta api dapat dioptimalkan. Selain itu, perlu dilakukan penyeragaman kereta api di sisi kecepatan agar tidak banyak waktu yang terbuang dan menurunkan kapasitas jalur kereta api.
Tidak kalah penting, disebutkan Yuwono, perlu dilakukan peningkatan kemampuan dalam pembuatan jadwal perjalanan secara maksimal. Dengan penjadwalan yang maksimal diharapkan dapat memaksimalkan penggunaan kapasitas jalur kereta api. (Humas UGM/Ika)