Pada bulan Agustus silam pemerintah mengeluarkan rancangan revisi terhadap Undang Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Meski ditujukan untuk memperbaiki konten UU agar lebih demokratis, berbagai pakar dan pelaku penyiaran justru memandang revisi ini sebagai kemunduran dalam proses demokrasi khususnya dalam bidang penyiaran.
“Tahun ini kita memperingati ulang tahun ke-14 UU Penyiaran No.32. Sayangnya, yang ada bukan kado istimewa, tapi kado yang mengecewakan. Ada inisiatif untuk merevisi UU tapi ini justru menjadi langkah mundur yang serius dari UU tahun 2002,” ujar Rahayu, M.Si., M.A., dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Dalam konferensi pers yang berlangsung Rabu (28/12) di Gedung Pusat UGM, anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) ini menyebutkan bahwa dalam berbagai hal, UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 sebenarnya relatif demokratis. Hal ini bisa dilihat setidaknya dari lima hal pokok, yaitu dilahirkannya regulator independen, ditetapkannya RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran, pembatasan siaran dan kepemilikan lembaga penyiaran swasta, diakuinya lembaga penyiaran komunitas, serta diberlakukannya sistem siaran berjaringan bagi lembaga penyiaran swasta.
“UU No. 32 Tahun 2002 yang berlaku saat ini sebenarnya relatif demokratis. Meski dalam beberapa hal belum bisa dikatakan berlaku sepenuhnya demokratis, namun ini lebih demokratis dibanding revisi versi Agustus,” paparnya.
Lebih lanjut Rahayu menjelaskan terdapat kesan yang sangat kuat bahwa DPR saat ini dengan sengaja mengubah sejumlah pasal dalam UU penyiaran Tahun 2002 untuk kepentingan lembaga-lembaga penyiaran swasta besar dengan mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, bersama lebih dari 160 akademisi yang tergabung dalam KNRP, ia memperjuangkan agar pemerintah memperbaiki revisi terhadap UU tersebut.
“Inti dari revisi undang-undang versi Agustus ini seolah meniadakan komunitas lokal. Kita akan memperjuangkan ini untuk bisa diperbaiki,” ucap Rahayu.
Beberapa poin dari draf revisi bulan Agustus yang menuai kritik dari KNRP diantaranya terkait tidak adanya aturan soal kepemilikan yang dikhawatirkan dapat memperkuat monopoli stasiun televisi dan radio, aturan terkait Sistem Siaran Jaringan yang akan melanggengkan pemusatan siaran televisi di Jakarta, serta kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran yang justru bertentangan dengan UU Pers.
Selain itu, KNRP juga mengkritik ketentuan bahwa porsi maksimal spot iklan dinaikkan dari 20% menjadi 40% dari setiap waktu tayang program serta aturan yang membolehkan adanya iklan rokok. Hal ini dianggap akan sangat mengganggu kenyamanan khalayak dan menunjukkan keberpihakan yang tinggi kepada pemodal.
Sementara itu, pengamat komunikasi dan media UGM, Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si., memaparkan hasil penelitian yang dilakukan olehnya bersama beberapa dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM terkait regulasi, teknologi, industri, serta masyarakat penyiaran. Pemerintah saat ini, menurutnya, belum menunjukkan perhatian yang cukup terhadap kualitas penyiaran di Indonesia.
“Semangat untuk mengontrol lebih tinggi daripada semangat untuk memfasilitasi. Saat ini, sulit untuk mencari tayangan yang berkualitas di televisi, dan ini tidak diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Terkait masa depan dari industri penyiaran, ia menekankan pentingnya menjaga kualitas dari konten yang disiarkan. Hal ini adalah solusi untuk memperoleh kembali animo dari masyarakat yang mulai beralih dari media konvensional seperti televisi.
“Animo untuk menonton TV berkurang karena kontennya sendiri kurang berkualitas. Di era saat ini dengan persaingan konten yang luar biasa, konten berkualitas ini bisa menjadi pegangan,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)