Investasi modal manusia pada masa anak-anak diyakini sangat penting dalam menopang tingkat kesejahteraan pada saat mereka menginjak usia dewasa. Anak-anak yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan lebih produktif, kesempatan memperoleh upah tinggi dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu faktor mendasar dalam menopang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun, tingginya risiko naik turunnya pendapatan saat terjadi krisis ekonomi sangat menentukan tingkat pendidikan dalam kehidupan rumah tangga yang menyebabkan rendahnya investasi pada sumber daya manusia, terutama besarnya risiko kemungkinan anak perempuan yang putus sekolah.
Hal itu dikemukan oleh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjajaran, Bayu Kharisma, SE., MM., M.E., dalam ujian terbuka promosi doktor yang berlangsung di ruang Auditorium BRI Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Senin (9/1). Dalam penelitian disertasinya yang berjudul Guncangan Pendapatan dan Invetasi Modal Manusia di Indonesia, Bayu mengatakan program pemberian beasiswa yang diberikan pemerintah pada keluarga kurang dan tidak mampu sebagai salah satu instrumen kebijakan yang bisa mengurangi angkat putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar. “Mengingat jenjang tersebut sangat rentan terkena putus sekolah apalagi terkena dampak krisis ekonomi,” paparnya.
Program bantuan bagi siswa maupun sekolah untuk pendidikan dasar dan menengah khususnya yang berasal dari rumah tangga kurang mampu atau tidak mampu diharapkan dapat membiayai keperluan sekolah bagi siswa agar tidak putus sekolah akibat kesulitan ekonomi. “Dengan demikian siswa mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terus bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya,” ujarnya.
Bayu menerangkan anak perempuan di Indonesia cenderung memiliki kemungkinan putus sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Kondisi ini menegaskan adanya kesenjangan gender antara anak perempuan dan laki-laki dalam partisipasi sekolah. Tingginya angka putus sekolah pada jenjang tersebut antara lain disebabkan faktor pertimbangan prioritas bahwa nilai ekonomi atau tingkat pengembalian anak laki-laki dianggap lebih tinggi dibandingkan perempuan. Anak laki-laki dianggap harus mencari nafkah sehingga harus dibekali pendidikan lebih tinggi. “Adanya tradisi dan budaya maupun persepsi negatif bahwa anak perempuan terkendala soal keselamatan, biaya dan jarak yang menjadi kendala mereka untuk melanjutkan pendidikan,” katanya.
Berbagai hail penelitian sebelumnya, kata Bayu, umumnya rumah tangga di pedesaan untuk mengantisipasi krisis ekonomi cenderung menguruangi investai pendidikan anak berusia muda dengan tujuan melindungi pendidikan anak yang berusia lebih tua. Sementara pendidikan orang tua berperan penting dalam meningkatkan patisipasi sekolah. “Pendidikan ibu lebih dominan dalam memutuskan anaknya untuk bersekolah pada tingkat pendidikan dasar,” terangnya
Ia menambahkan pemerintah hendaknya lebih memprioritaskan agar anak perempuan diberikan akses pendidikan lebih luas sehingga bias gender dalam pendidikan dapat diminimalkan. Pendidikan rendah pada anak perempuan sangat berpengaruh terhadap akses dan sumber–sumber produktif sehingga rentan dengan berbagai guncangan ekonomi. Akibatnya, anak perempuan lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal dan domestik yang cenderung memiliki upah rendah. Adanya kebijakan untuk meningkatkan kesetaraan gender ini merupakan aspek penting dari strategi pembangunan untuk memberdayakan masyarakat, khususunya bagi perempuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan serta keluar dari rantai kemiskinan yang selama ini menjadi masalah mendasar bagi Indonesia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)