Secara umum, kinerja pemberantasan korupsi di tahun 2016 masih jauh dari harapan masyarakat. Kinerja aparat penegak hukum terutama kejaksaan dan kepolisian yang diharapkan lebih agresif dalam melakukan tugasnya justru malah terlihat “melempem”.
Demikian kesimpulan yang disampaikan oleh empat peneliti PUKAT Fakultas Hukum UGM, Zaenurrohman, Faris Fachryan, Bayu Panji Pangestu dan Yuris Reza Kurniawan dalam kegiatan Outlook Pemberantasan Korupsi Tahun 2017.
“Penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi masih didominasi kategori korupsi kecil. Tidak banyak kasus besar berhasil dibongkar oleh kejaksaan dan kepolisian. Belum lagi beberapa kasus korupsi berhenti di tengah jalan,” ujar Yuris Reza Kurniawan, di PUKAT UGM, Senin (16/1).
Kasus grand corruption, menurut Yuris, bisa dilihat dari aktor yang terlibat dan kerugian negara akibat korupsi. Beberapa kasus grand corruption diantaranya kasus E-KTP yang mencapai triliunan rupiah.
“Seperti kasus Irman Gusman, bisa dikatakan besar karena melibatkan ketua DPD RI dalam impor sembako meski jumlah suap yang terungkap relatif kecil,” kata Yuris.
Zaenurrohman mengungkapkan pemberantasan korupsi tahun 2016 yang dilakukan Satgas Saber Pungli melalui operasi tangkap tangan perlu dikritisi dan diapresiasi. Oleh karena itu, langkah ini diharapkan tidak hanya menjadi lip service semata, karena terlihat tidak ada tindak lanjut dari setiap OTT yang dilakukan di lokasi-lokasi pelayanan publik.
Menurutnya, keberadaan Satgas Saber Pungli ini ingin menghilangkan pungutan liar dari pelayanan publik. Diharapkan dengan cara itu akan menaikkan indeks persepsi korupsi, karena bagaimanapun pungli menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan indeks persepsi korupsi rendah.
“PUKAT UGM mencatat ada dua tempat yang mestinya menjadi prioritas Satgas Saber Pungli, yaitu di lingkungan penegak hukum dan pengadilan. Selain itu, kami berharap setelah OTT ditindaklanjuti dengan perbaikan internal, apakah melalui reformasi birokrasi melalui perbaikan kelembagaan, budaya kerja, pakta integritas dan seterusnya,” papar Zaenurrohman.
Sementara itu, Bayu Panji Pangestu menyatakan dalam hal reformasi birokrasi di tahun 2016 belum mengalami banyak kemajuan. UU ASN meskipun belum sempurna diharapkan memberi peluang bagi perbaikan birokrasi.
Di tahun 2016, tercatat masih banyak anggota DPR belum menyerahkan LHKPN. Data per Januari 2017, di tingkat legislatif yang menyerahkan LHKPN sebanyak 13.960 atau 31,1 persen wajib lapor di tingkat legislatif.
Capaian kerja legislatif dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 hanya 20 persen atau pengesahan sebanyak 10 RUU dari 50 RUU Prioritas Prolegnas. RUU yang disahkan juga tidak berkaitan dengan kebutuhan guna mendukung pemberantasan korupsi.
“Dua RUU penting terkait pemberantasan korupsi adalah RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Belum lagi masih banyak anggota legislatif yang tersangkut kasus korupsi,” kata Bayu.
Faris Fachryan berpendapat di tahun 2016 menjadi babak baru bagi perseteruan kepolisian dan KPK. Gelagat anggota kepolisian menolak untuk diperiksa oleh KPK dalam berbagai kasus menjadi kabar buruk bagi pemberantasan korupsi. Hal itu bisa dilihat pada kasus pemeriksaan 4 ajudan Nurhadi dan kasus Bupati Banyuasin yaitu 8 anggota perwira Polri menolak diperiksa oleh KPK.
“Apalagi ada selebaran dimana untuk pemeriksaan, penyelidikan dan penggeledahan yang melibatkan anggota Polri harus seijin Kapolri. Belum lagi tentang pemidaan korporasi, padahal UU Tindak Pidana Korupsi telah mengatur pemidanaan korporasi. Namun, dalam UU Tipikor masih banyak kelemahan,” ungkap Faris.
Melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 2016 memberi petunjuk masih banyak kelemahan dalam sektor pemberantasan korupsi. Alih-alih memperkuat, di bebera sektor justru terjadi pelemahan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, PUKAT Fakultas Hukum UGM mendorong Tim Saber Pungli membuat prioritas pemberantasan pungli di sektor penegakkan hukum dan pengadilan.
Sementara itu, DPR juga harus menjaga etika politik, serta menguatkan lembaga etik. DPR perlu bersungguh-sungguh menyelesaikan RUU dalam rangka pemberantasan korupsi, seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai.
“Penuntasan “hutang” perkara yang berhubungan dengan kasus grand corruption, serta memulai penanganan pemidanaan korporasi yang terlibat kasus korupsi. Selain itu, aparat dan lembaga penegak hukum harus kooperatif jika diperiksa terkait kasus korupsi,” harap Faris. (Humas UGM/ Agung).