Universitas Gadjah Mada mewisuda sebanyak 1.097 lulusan pascasarjana terdiri dari 986 master, 37 doktor, dan 74 spesialis, Kamis (19/1). Masa studi rata-rata untuk program magister adalah 2 tahun 8 bulan, program spesialis 4 tahun 10 bulan, dan program doktor 5 tahun 11 bulan. Waktu studi tersingkat untuk program magister diraih oleh Ahmad Kharis dari Prodi S2 Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, yang lulus dalam waktu 1 tahun 2 bulan 25 hari. Untuk jenjang spesialis, masa studi tersingkat diraih oleh Shinta Ferronika dari Prodi Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, yang menyelesaikan studi dalam waktu 2 tahun 3 bulan 20 hari. Sementara itu, untuk Program doktor diraih oleh Abdul Salam Ahmad Abed Khalaf dari Prodi Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, yang meraih gelar doktor dalam waktu 2 tahun 2 bulan 13 hari.
Lulusan termuda dari program magister diraih Sawitri dari Prodi S2 Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, yang lulus pada usia 22 tahun 6 bulan 26 hari. Selanjutnya, untuk program spesialis diraih oleh Riana Helmi dari Prodi Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran yang menyelesaikan studi pada usia 25 tahun 9 bulan 30 hari. Sedangkan lulusan doktor termuda diraih oleh Tatag Lindu Bhakti dari prodi Ilmu Teknik Elektro, Fakultas Teknik, yang lulus pada usia 30 tahun 5 bulan 24 hari. Adapun IPK rata-rata dari program Magister adalah 3,55, program spesialis 3,56 dan program doktor 3,68.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D, dalam pidato sambutannya menyampaikan ucapan selamat kepada para wisudawan yang berhasil menyelesaikan studi program pascasarjana. “Kami turut bangga atas keberhasilan saudara menyelesaikan program pasacasarjana di kampus ini. Kiprah saudara sangat ditunggu di tengah kesempatan yang sangat terbuka dalam membangun Indonesia dalam beberapa tahun ke depan,” kata Iwan dalam prosesi wisuda yang berlangsung di Grha Sabha Pramana.
Menurut Iwan, apa yang telah dicapai para wisudawan dengan mengikuti prosesi wisuda makin menegaskan bahwa ilmu yang mereka peroleh sebagai upaya panjang perjuangan yang patut disyukuri. “Namun, itu semua tidak cukup apabila saudara tidak ikut berperan dalam berbagai isu global yang menghadang,” katanya.
Beberapa tantangan global, menurut Iwan, adalah isu ketersediaan pangan. Menurutnya, ketersediaan pangan dan implikasinya saat ini tengah dihadapi belahan penduduk dunia. Ia menyebutkan setiap hari ada 797 juta orang menderita kelaparan dan sekitar 2 milyar orang kekuranagn gizi. “Ketersediaan pangan yang bekesinambungan untuk penduduk seisi bumi menjadi tantangan besar bagi dunia,” ujarnya.
Ledakan jumlah penduduk dunia yang semakin sulit dihambat menjadi salah satu penyebabnya. Bahkan, jumlah penduduk dunia tahun 2050 diperkirakan mencapai 9,7 milyar atau bertambah 3,5 milyar dari sekarang. “Ini artinya dalam kurun waktu 50 tahun mendatang penduduk dunia akan meningkat dua kali lipat,” katanya.
Semakin besarnya jumlah penduduk maka berdampak makin banyak masyarakat yang membutuhkan makanan olahan daging, telur dan susu, di tengah produksi rumput dan biji-bijian makin terbatas karena makin jarang orang memilih hidup bertani atau bercocok tanam sebagai pekerjaan tunggalnya. Selain itu, ditambah persoalan urbanisasi yang terjadi secara masif menyisakan berbagai masalah lingkungan karena lahan subur yang bisa ditanami tanaman pangan makin terbatas. “Lapisan subur dari tanah makin menghilang. Akibatnya, sekitar 40 persen daratan dunia menjadi gersang. Keadaan ini diperburuk oleh meningkatnya suhu global yang mengakibatkan semakin banyak lahan menjadi padang pasir, “ tegasnya.
Sebagai gambaran, kata Iwan, diperlukan 1500 liter air untuk menghasilkan produksi 1 kilogram gandum. Dengan demikian, diperlukan 16 ribu liter air untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi. “Produksi makanan menyerap 70 persen kosumsi air dunia. Tahun 2050 kita memerlukan air yang jumlahnya dua kali lipat daripada hari ini,” ujarnya.
Melihat tantangan tersebut, kata Iwan, perlu dikembangkan sistem pertanian yang dapat menjamin keberlangsungan suplai makan yang memadai dengan harga yang terjangkau. Sistem yang dikembangkan harus menjamin setiap orang yang terlibat dalam proses produksi akan mendapat manfaat termasuk pemilik lahan terbatas, wanita, anak-anak dan usia lanjut.
Fenomena global selanjutnya adalah situasi pertumbuhan ekonomi dunia yang makin stagnan. Dalam lima tahun terakhir, kata Iwan, pertumbuhan ekonomi dunia makin mengkhawatirkan, isu global seputar pengangguran berujung makin lebarnya jurang pendapatan antara si kaya dan si mikin. “Lebih dari sepuluh tahun terakhir pendapatan per kapita keluarga penduduk dunia relatif stagnan bahkan menurun dibandingkan dengan kebutuhan harian. Ini memicu kerentanan sosial, terutama terjadi di negara maju dan negara berkembang,” terangnya.
Iwan menilai Indonesia perlu memperkuat perekonomian yang kini bergerak dan berkembang pada saat ini. Pendekatan yang berorientasi pada masyrakat , menurut Iwan, sebagai salah satu cara untuk mencegah disparitas kestabilan sosial dan kemiskinan, meski jargon ini sulit dilakukan. Kerja sama antara pemerintah dan swasta menjadi kunci untuk menjawab tantangan dunia menghadapai pertumbuhan ekonomi dan inklusi sosial. Dengan demikian, setiap komponen bangsa perlu terlibat dalam menghadapi dan menjawab tantangan global ekonomi dunia. “Dengan bekerja inovatif, efektif, meningkatkan produktivitas, berjiwa kewirausahaan dan pemanfatan teknologi secara arif, saya kira bisa menjadi solusi,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson;foto: Firsto)