Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata strategis memiliki segudang potensi pariwisata yang masih dapat dikembangkan di waktu mendatang. Meski demikian, beragam aset yang dimiliki provinsi ini merupakan aset yang rentan dan perlu dirawat. Karena itu, pemerintah harus menetapkan aturan yang jelas untuk menjaga kelestarian area-area unggulan wisata ini.
“Perlu membuat panduan kalau intervensi destinasi itu gimana, intervensi desain, siapa yang boleh datang. Harus menunjukkan keberpihakan dalam pariwisata, kita mau menjadikan Jogja itu untuk lahan pariwisata yang seperti apa,” ucap Dr. Ir. Laretna T. Adishakti, M.Arch., Kamis (19/1) di Pusat Studi Pariwisata UGM.
Dalam diskusi bertajuk “Menguatkan Pariwisata Saujana Pusaka Yogyakarta”, dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM yang biasa dipanggil Sita ini, memaparkan pentingnya perhatian dari berbagai pihak terhadap upaya pengelolaan unggulan pariwisata di Yogyakarta yang tetap memperhatikan prinsip kelestarian. Provinsi DIY, menurutnya, memiliki aset-aset unggulan dengan nilai pariwisata yang tinggi, mulai dari bentang persawahan di Kulon Progo hingga kekayaan ekologi di Gunung Kidul. Namun, belum semua aset ini dikelola secara tepat.
“Kita itu sebenarnya ngeri, kayaknya semua orang diterima datang ke Jogja. Padahal, Jogja harus bisa menentukan siapa yang layak datang ke Jogja, dan orang yang datang ke Jogja harus bisa diatur oleh Jogja, karena aset yang kita punya itu rentan dan harus dirawat,” jelasnya.
Dalam diskusi ini, Sita menyebutkan sembilan unggulan pariwisata di Provinsi DIY, yaitu nilai mahakarya ekologi, nilai mahakarya kepurbakalaan, nilai filosofi, nilai keragaman budaya, nilai ke-Indonesia-an, nilai pendidikan, nilai mahakarya seni dan budaya tradisi dan kontemporer, nilai kerakyatan, serta nilai sistem budaya pertanian. Unggulan-unggulan inilah yang menjadi pusaka milik Yogyakarta yang harus bersama-sama dikelola dan dilestarikan.
Lebih lanjut ia menjelaskan pemahaman pelestarian pusaka pada dasarnya telah berkembang jauh. Pelestarian pusaka tidak hanya dalam bentuk pengawetan pusaka saja, tetapi juga merupakan pengelolaan perubahan, suatu perubahan yang dilakukan secara selektif.
Ia menyebutkan fenomena yang bisa ditemukan di berbagai negara di dunia yang mampu mengembangkan saujana pusaka sebagai ruang kehidupan yang inovatif dan kreatif, seperti kota Kawagoe di Jepang yang sukses dibangun atas inisiatif komunitas serta peremajaan berbagai situs budaya di kota Ahmedabad di India melalui inisiatif dari sektor privat. Dalam fenomena yang terjadi di kedua negara ini, menurut Sita, kreativitas dan inovasi yang muncul dari kalangan warga lokal menjadi motor yang menggerakkan pengembangan pariwisata daerah.
Menilik potensi daerah serta kreativitas yang dimiliki oleh warga DIY, Sita pun merasa optimis bahwa Yogyakarta dapat berkembang sama seperti berbagai kota di dunia yang telah sukses mengembangkan saujana pusakanya. Ia pun mengajak berbagai pihak, baik pemerintah daerah, warga lokal, maupun pihak swasta untuk mampu mengelola pariwisata Yogyakarta yang mampu menyejahterakan masyarakatnya tanpa mengesampingkan kearifan nilai lokal.
“Pariwisata Jogja itu harus spesial. Orang Jogja itu inovator, kreator, tapi dia juga pelestari, dan dia bukan follower. Kalau diantara kita saling ajar-mengajar, ini bisa jadi sebuah gerakan dari Jogja sehingga destinasi yang kita punya di Jogja, ya itulah Jogja, bukan mengikuti yang lain-lain,” pungkas Sita. (Humas UGM/Gloria)