Suku bangsa Tolaki sebagai salah satu komponen penduduk Sulawesi Tenggara memiliki pusat kebudayaan yang bernama Kalo yang dalam bahasa Tolaki berarti ‘lingkaran ikatan’ mempunyai wujud ideal kebudayaan yang disebut Kalo Sara atau adat istiadat Kalo. Kalo Sara di tengah sistem kehidupan sosial bangsa Tolaki bekedudukan sebagai adat istiadat utama. Berdasarakan kajian etika utilitarianisme, ajaran etis Kalo Sara memiliki tujuh nilai moralitas, yakni nilai kesatuan dan persatuan, nilai kesucian, nilai keadilan, nilai kesejahteraan, nilai kesenangan, nilai cinta kasih dan nilai rasa malu. Nilai-nilai kearifan lokal ini masih sangat relevan apabila ditransformasikan ke dalam tatanan kehidupan sosial di Sulawesi Tenggara.
Demikian dikemukan oleh Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Aslim S.S., M.Hum, saat memaparkan hasil penelitian disertasinya dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Filsafat UGM, Jumat (20/1). Dalam ringkasasn disertasinya yang berjudul ‘Moralitas Kali Suku Bangsa Tolaki dalam Perspektif Etika Utyilitarianisme dan Sumbangannya bagi Perkembngan Budaya di Sulawesi Tenggara’, Aslim mengatakan berdasarkan kajian etika utilitarianisme, ketujuh moralitas budaya Kalo setidaknya memiliki manfaat bagi kehidupan sosial kaum Tolaki diantaranya sebagai alat utama bagi pembentukan jati diri kaum Tolaki. “Dapat dikatakan bahwa sebagain besar realitas tindakan-tindakan etis dan etiket kaum Tolaki sebetulnya merupakan cerminan dari pengaruh ajaran kebaikan,” katanya.
Selain itu, nilai-nilai ajaran moralitas budaya Tolaki ini juga merupakan alat utama bagi pembentukan integrasi kaum Tolaki. “Ajaran etis budaya Kalo telah menciptakan tanda batas pemisah secara imajiner antara kaum Tolaki dengan warga suku bangsa lainnya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, kata Aslim, nilai moralitas budaya Kalo merupakan alat utama bagi peneguhan keutamaan etis atas kaum Tolaki, klaim itu misalnya tampak pada perwujudan sebagai norma-norma moralitas tolong-menolong dan gotong-royong yang mengatur keutamaan etis dalam sistem kepranataan sosial suku bangsa Tolaki. Bahkan, nilai-nilai moralitas budaya Kalo juga bisa dijadikan sebagai alat utama bagi penyelesaian berbagai konflik sosial kaum Tolaki, baik konflik kekerasan maupun konflik tanpa kekerasan.
Aslim menambahkan ajaran nilai moralitas budaya Kalo dalam penjelmaan sebagai norma-norma moralitas Kalo Sara yang hidup dalam sistem kepranataan sosial suku bangsa Tolaki bersifat universal tentu sangat relevan apabila ditransformasikan ke dalam tatanan kehidupan sosial di Sulawesi Tenggara pada konteks kekiniaan. “Segenap warga masyarakt yang tinggal di Sulawesi Tenggara dalam hal ini entah penduduk asli ataupun nonpribumi dalam meresapkan serta mengakulturasikan ajaran etis budaya Kalo tersebut sebagai pedoman hidup dan pergaulan sosialnya,” ujarnya.
Yang tidak kalah penting, menurutnya, pemerintah daerah dapat pula mentransformasikan ajaran etis budaya Kalo sebagai desain dasar bagi kebijakan pembangunan daerah pada sejumlah sektor, seperti pertanian, pendidikan, dan ketenagakerjaan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)