Beberapa penelitian terkait pinjaman mikro untuk membantu mengurangi kemiskinan masih meninggalkan beberapa hal menarik, diantaranya masih diperlukan penelitian lanjutan, terutama relevansinya terhadap maksud dan tujuan UU No 1 tahun 2013 guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin.
Pertanyaannya, apakah pinjaman mikro melalui lembaga keuangan, baik bank maupun non bank, sungguh-sungguh membantu mengubah kondisi rumah tangga yang sebelumnya miskin menjadi tidak miskin. Atau apakah perubahan tersebut bukan hanya karena pinjaman mikro yang diterima.
“Banyak faktor memengaruhi pinjaman mikro melalui lembaga keuangan, baik bank maupun non bank, yang bertujuan untuk membantu mengurangi kemiskinan rumah tangga, seperti kondisi ketidaksempurnaan informasi pada pinjaman mikro dapat memunculkan adanya masalah risiko adverse selection dan moral hazard,” ujar Suratini, SE., M.Si, saat ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Jum’at (20/1).
Menurut Suratini, adanya faktor eksternal yang memengaruhi termasuk adanya risiko tersebut, maka sulit untuk mengukur penurunan kemiskinan rumah tangga yang benar-benar disebabkan oleh pinjaman mikro yang diterima rumah tangga. Secara teoretis, dampak pemberian pinjaman mikro terhadap penurunan kemiskinan rumah tangga dapat dievaluasi melalui perbandingan kondisi rumah tangga sebelum (before) dan setelah (after) menerima pinjaman mikro.
“Namun, teori itupun memunculkan adanya seleksi bias karena kondisi setiap rumah tangga tidak mungkin sama sebelumnya sehingga perbedaan kondisi tersebut berarti tidak sepenuhnya karena adanya pinjaman mikro yang diterima rumah tangga,” katanya.
Dari disertasinya berjudul Evaluasi Pinjaman Mikro Terhadap Kemiskinan Rumah Tangga di Indonesia, terungkap dua kondisi moral hazard, yaitu moral hazard yang dilakukan kreditur. Secara umum, munculnya moral hazard dikalangan kreditur karena kreditur ingin memperoleh laba atau keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, pihak kreditur cenderung kurang berhati-hati dalam memilih calon kreditur.
“Akibatnya banyak debitur yang sebenarnya tidak layak memenuhi kriteria tetapi malah mendapatkan pinjaman atau sebaliknya,” paparnya.
Kedua, moral hazard yang dilakukan debitur terhadap debitur. Pada kondisi ini asymetric information sangat tinggi. Pihak kreditur dalam hal ini kemungkinan memiliki sedikit informasi mengenai calon kreditur, baik dalam urusan pengembalian barang maupun penggunaan dana.
“Karenanya, meskipun pemberian kredit secara prosedural sudah mengalami analisis yang tajam, namun pada akhirnya peminjam sewaktu-waktu merubah perilaku setelah mendapat pinjaman, misalnya menggunakan pinjaman yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian pinjaman mikro sebagaimana awalnya,” terang Suratini. (Humas UGM/ Agung)