Kehadiran yayasan dan pondok pesantren ber-manhaj Salaf di tengah-tengah masyarakat Cirebon yang menganut pemahaman tradisional serta mengikuti praktik Islam kultural dan pengamal tarekat memunculkan beragam respons. Di satu sisi, gerakan ini menuai kekaguman karena dakwahnya yang santun. Namun di sisi lain, cara penyebaran gerakan ini kerap menimbulkan keresahan bahkan konflik di antara masyarakat.
“Klaim merasa paling Islami dari para pengusung doktrin Salafi membuat masyarakat Cirebon resah. Mereka berusaha untuk menyebarkan ajaran-ajaran Salafi dengan menggunakan tindakan-tindakan yang dapat memicu konflik dengan masyarakat,” ujar Muhammad Ali saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Senin (23/1) di Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Dalam kesempatan ini, ia mempertahankan disertasi berjudul “Gerakan Salafi di Cirebon Era Reformasi: Ajaran, Penyebaran, dan Tantangan”. Ali menjelaskan gerakan Salafi merepresentasikan dirinya sebagai subkultur Islam yang berusaha memperbarui diri dalam proses modernisasi untuk peneguhan moral berlandaskan manhaj Salaf, serta melakukan proses pemurnian tauhid atas berbagai macam praktik bid’ah, syirik, dan tantangan modernitas. Gerakan ini memprioritaskan kepada kontestasi makna sebagai pemegang otoritas fatwa yang bersumber langsung kepada Al-Quran dan Hadis sebagai solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan umat.
“Apabila ada anggota gerakan yang melakukan tindakan menyimpang dari manhaj Salaf maka akan di-tahdzir oleh sesama kelompoknya agar ia kembali kepada jalan lurus Salafi,” terang Ali.
Dengan merepresentasikan model afirmasi gaya hidup dan tetap menjadi pribadi yang agamis, masyarakat Cirebon sekilas terkesima dengan dakwahnya yang santun dan sopan. Meski demikian, kelompok Salafi adalah kelompok Islam yang tidak lepas dari konflik, baik konflik internal di kalangan sesama penggiat dakwah Salafi, maupun konflik eksternal. Konflik internal di dalam gerakan ini diantaranya terjadi karena perbedaan cara pandang dalam memahami manhaj Salaf, ketidakcocokan satu sama lain, serta strategi dakwah yang berseberangan. Persoalan serupa juga menjadi pemicu konflik dengan kelompok masyarakat lain.
“Mereka tak segan berseteru dengan kelompok Islam mainstream dan masyarakat sekitar sehingga tak pelak lagi cap teroris, radikal, fundamental, dan semacamnya diarahkan kepada pengikut gerakan Salafi,” jelasnya.
Namun, lanjut Ali, meski peristiwa konflik sempat terjadi di beberapa daerah, insiden ini tidak sampai berkembang menjadi konflik horizontal yang lebih besar. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh sigapnya pihak berwenang seperti aparat kepolisian Cirebon dan pemerintah desa dalam menangani benih-benih konflik, sikap acuh tak acuh di antara para pengusung Salafi, serta karena masyarakat Cirebon sudah jenuh dengan konflik-konflik yang terjadi.
Untuk mencegah terulangnya konflik kembali, Ali menyebutkan tiga hal yang harus menjadi perhatian, yaitu ketegasan pemerintah, penguatan sikap toleransi, serta penguatan sistem hukum dan politik. Hanya sekadar menarik diri dari konflik, menurutnya, tidak dapat menyelesaikan konflik yang ada saat ini.
“Mediasi, negosiasi, dan arbitrasi merupakan sarana-sarana pengelolaan konflik,” imbuhnya. (Humas UGM/Gloria)