Secara empiris, proses penyesuaian keluarga korban konflik di Aceh belum dapat dipahami dengan jelas. Dari hasil studi awal diketahui bahwa terdapat potensi resiliensi keluarga penyintas konflik Aceh, namun belum terdapat studi yang menjelaskan proses terbentuknya resiliensi keluarga.
Sedangkan secara teoretis, perkembangan konsep resiliensi selama beberapa dekade berfokus pada level individual, namun saat ini telah bergerak pada level keluarga dan komunitas. Selain itu, melalui riset-riset terkini, perkembangan resiliensi diyakini bukan hanya sebagai sebuah sifat kepribadian, tetapi juga proses yang diperoleh dalam menghadapi situasi sulit dan ekstrim.
“Dampak konflik terhadap kesehatan mental masyarakat Aceh menjadi perhatian pasca bencana Tsunami. Pada saat itu, korban bencana Tsunami menjadi fokus penanganan psikososial yang kemudian secara beriringan perhatian mengarah pada korban konflik,” ujar Marty Mawarpury saat ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Psikologi UGM, Senin (23/1).
Menurut Marty, hingga kini masih banyak ditemui dampak panjang dari konflik di Aceh, seperti banyak janda menjadi orangtua tunggal dan menjadi tulang punggung bagi keluarga karena suami terbunuh atau hilang dalam masa konflik. Mereka merasa keadilan tidak diperoleh keluarga karena keluarga tidak memilik pengetahuan tentang hukum dan proses hukum.
Persoalan-persoalan pelanggaran yang belum tuntas tersebut menjadi ganjalan, terutama bagi keluarga yang menjadi korban kekerasan pada masa konflik. Bagaimana keluarga beradaptasi menghadapi ketidakpastian tersebut belum dapat dipahami.
“Impunitas terhadap pelaku memunculkan pertanyaan, apakah tersedia pilihan-pilihan bagi keluarga yang mengalami kekerasan, selain menerima dan beradaptasi dengan situasi? Bagaimana proses resiliensi keluarga penyintas konflik Aceh?,” paparnya saat mempertahankan disertasi Dinamika Resiliensi Keluarga Penyintas Konflik di Aceh dengan tim promotor Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S, Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si dan Prof. Subandi., M.A., Ph.D.
Marty Mawarpury, dosen Program Studi Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan resiliensi keluarga penyintas konflik politik di Aceh merupakan proses menjaga keseimbangan keluarga melalui tahapan bertahan (survival), beradaptasi, penerimaan dan bertumbuh lebih kuat. Faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi keluarga terdiri atas faktor protektif, risiko, sumberdaya dan budaya yang terdiri atas pranata-pranata sosial seperti masjid, meunasah, dayah, dan warung kopi.
Faktor protektif, ini dapat menjadi faktor risiko, demikian juga sebaliknya. Resiliensi keluarga merupakan proses interaksi dalam keluarga dan interaksi keluarga dengan sub sistem ekologi (microsystem, mesosystem, exosystem dan macrosystem) dalam menghadapi kesulitan dan menjaga keseimbangan keluarga.
“Elemen dalam sistem ekologi ini dapat menjadi faktor protektif maupun faktor risiko bagi keluarga. Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa resiliensi keluarga merupakan proses penyesuaian melalui tahapan bertahan, beradaptasi, penerimaan dan bertumbuh kuat, dan proses diperoleh melalui sumberdaya dan modal sosial,” tuturnya.
Oleh karena itu, kata Marty, keluarga perlu mengidentifikasi tantangan, sumberdaya dan menentukan tindakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Kemampuan tersebut perlu untuk terus dikembangkan agar menjadi kekuatan keluarga dalam menghadapi berbagai macam kesulitan.
“Bahkan, untuk mengembangkan resiliensi keluarga penyintas dapat diberikan intervensi yang mengacu pada tahapan resiliensi keluarga sebagaimana yang ditemukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian memberikan pemahaman tentang konflik Aceh dan dampaknya bagi masyarakat terutama dalam sisi psikologis. Karena itu, profesi kesehatan harus memiliki pengetahuan kemampuan untuk melayani dan memahami kebutuhan para penyintas konflik,” tandas Marty. (Humas UGM/ Agung)