Pembangunan pemecah gelombang harus diikuti dengan penanaman bakau sehingga fungsi perlindungan pantai lebih optimal. Pasalnya, erosi pantai berpotensi menggerus bagian bawah bangunan pemecah gelombang yang telah dikonstruksi. Gerusan ini akan mengurangi masa pakai bangunan pemecah gelombang sehingga diperlukan sinergi antar instansi dan masyarakat dalam merehabilitasi pantai.
Hal itu dikemukan mahasiswa program doktor prodi Ilmu Lingkungan Sekolah Pasacasarjana, Aji Ali Akbar, S.Hut, M.Si., dalam ujian terbuka promosi doktor di ruang seminar Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (24/1). Disertasi Ali mengangkat penelitian mengenai fenomena erosi pantai, ekosistem hutan bakau, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem pesisir di Kalimantan Barat.
Penelitian yang dilakukan di dua wilayah kabupaten pesisir di Kalimantan Barat, yakni Kabupaten Bengkayang dan Menpawah. Lokasi penelitian dilakukan di 15 desa pantai yang mengalami erosi pantai dengan luas wilayah bervariasi. Penelitian Ali mengungkapkan ada 6 aktifitas masyarakat yang menyebabkan terjadinya erosi pantai dan kerusakan ekosistem hutan bakau. Aktivitas masyarakat tersebut adalah pembuatan jalan dan permukiman di daerah pesisir, perkebunan kelapa dan pengolahan kopra, pengolahan teri, perluasan tambak udang intensif, penambangan pasir pantai, dan pembangunan bangunan pemecah gelombang.
Kerusakan eksositem hutan bakau dan erosi pantai ini, menurut Ali Akbar, karena dari hasil survei diketahui hanya sekitar 2 persen responden merasakan manfaat ekonomi ekosistem hutan bakau. “Artinya, hampir seluruh masyarakat pesisir atau 98% tidak menganggap eksosistem hutan bakau memberikan manfaat ekonomi langsung terhadap kehidupan mereka,” ujarnya.
Persepsi masyarakat tersebut terhadap ekosistem hutan bakau mengakibatkan alih fungsi lahan pesisir menjadi pertanian perkebunan dan pertambakan. Selain aktifitas masyarakat, konstruksi bangunan pemecah gelombang yang seharusnya melindungi pantai, memberi ruang dan waktu bagi pertumbuhan vegetasi bakau serta memberi rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Namun, kenyataannya pembangunan pemecah gelombang yang bersifat segmentasi dan temporal semakin memicu peningkatan laju abrasi. “Perlindungan pantai yang lebih mengutamakan prioritas pendekatan konstruksi pemecah gelombang daripada pendekatan rehabilitasi ekositem hutan bakau menyebabkan upaya perlindungan tersebut tidak optimal,” terangnya.
Menurutnya, diperlukan persamaan prioritas yang bersinergi sehingga tujuan rehabilitasi pantai tersebut tercapai. Menurutnya, dari hasil penelitian ini keberhasilan eksositem hutan bakau merehabilitasi diri ternyata turut memperpanjang masa pakai bangunan pemecah gelombang bahkan menjaga ekosistem rantai makanan perikanan pantai dan laut di Kalimantan Barat. (Humas UGM/Gusti Grehenson)