Jutaan anak berusia di bawah lima tahun mengalami permasalahan gizi ganda (double burden) gizi lebih dan kurang. Sebagian anak mengalami obesitas, namun sebagian lainnya mengalami stunting atau tubuh pendek, kurus, hingga gizi buruk.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat bahwa 18,8 % balita usia 0-5,9 bulan mengalami kurang gizi, 29% mengalami stunting akibat kurang gizi menahun. Sementara di sisi lain, terdapat 1,6% balita yang mengalami obesitas.
“Balita di Indonesia mengalami permasalahan gizi ganda, di satu sisi mengalami kekurangan gizi, tapi di sisi lain mengalami gizi lebih,” kata Ahli Gizi dari Universitas Gadjah mada, Dr. Toto Sudargo, SKM., M.Kes., Selasa (24/1) di ruang kerjanya Departemen Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran (FK) UGM.
Toto menyebutkan bahwa gizi kurang ini banyak dijumpai di sebagian besar Sulawesi, Kalimantan, NTB, NTT, Sumatera Utara, Aceh, dan Maluku. Kejadian gizi kurang terjadi tidak hanya akibat kurangnya asupan gizi saat balita. Namun, juga dikarenakan menderita penyakit infeksi seperti ISPA dan diare, bayi berat lahir rendah, tidak diberikan asi secara eksklusif, serta pola asuh salah.
“Hambatan pertumbuhan, kurang gizi, dan berat badan saat balita akan berpengaruh terhadap perkembangan saat dewasa menjadi tidak maksimal baik dalam hal kesehatan maupun mental,” tuturnya.
Menurut Toto meskipun persolan gizi kurang masih banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, namun prevalensinya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal berbeda justru terjadi pada angka kejadian obesitas. Dari tahun ke tahun kejadian obesitas semakin meningkat. Obesitas terjadi karena banyak faktor, seperti faktor genetik, faktor fisiologi, faktor sosial, faktor lingkungan penyakit endokrin, dan pengaruh obat-obatan.
“Pola konsumsi yang tidak seimbang seperti mengonsumsi makanan yang cenderung tinggi lemak dan karbohidrat juga menjadi salah satu faktor penyebab kegemukan,” terang dosen Gizi Kesehatan Masyarakat FK UGM ini.
Kasus obesitas banyak terjadi di sebagian besar Kalimantan, Maluku Utara, Gorontalo, DKI Jakarta, serta Sulawesi Utara. Kegemukan ini, kata Toto, memberikan kontribusi signifikan terhadap meningkatnya prevalensi berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi, jantung, dan diabetes melitus.
Memperingati Hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari, Toto menegaskan bahwa peran keluarga sangat diperlukan dalam meningkatkan perbaikan gizi dan menekan gizi lebih di Indonesia. Keluarga memiliki pengaruh yang cukup besar persoalan gizi setiap anggota keluarganya.
“Keluarga diharapkan sadar gizi dengan menerapkan prinsip gizi seimbang,”ucapnya.
Prinsip gizi seimbang adalah dengan membiasakan pola konsumsi beragam secara seimbang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Selain itu, juga membiasakan perilaku hidup sehat diikuti dengan rutin melakukan aktivitas fisik dan memantau berat badan secara teratur.
“Penerapan gizi seimbang ini sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)