Dikatakan Widagdo, penyakit antraks sebenaranya dijumpai hampir di semua negara. Bahkan, dari 180 negara yang tergabung dalam organisasi kesehatan hewan dunia sekitar 94 persen dari negara tersebut ditemukan antraks. Sedangkan di Indonesia, sekitar 22 propinsi yang endemik antraks. “Di Indonesia terindentifikasi sejak tahun 1884 di Teluk Betung, Lampung. Sekitar 22 provinsi saat ini endemik antraks. Yang belum dilaporkan hanya di Aceh, Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat,” terangnya.
Menurut Widagdo selama bakteri Bacillus anthracis, kuman penyebab antraks, tidak terpapar udara maka bakteri antraks relatif mudah dikendalikan. “Selama tidak dilakukan bedah bangkai atau sebagainya. Begitu terpapar udara bisa menjadi problem karena spora dari bakteri ini mampu cukup lama bertahan di lingkungan selama lingkungan tidak dikendalikan,” tegasnya.
Ia menambahkan kemunculan penyakit antraks di suatu wilayah di Indonesia selalu bisa tertangani dengan baik. Pasalnya, antraks tidak ditularkan langsung dari hewan ke hewan. “Tidak dari hewan, tapi dari sumber bahan yang tercemar lalu masuk ke dalam tubuh manusia,” katanya.
Meski demikian, bakteri antraks ini, menurut Widagdo, bisa mati apabila daging yang dikonsumsi direbus lebih dari 100 derajat celcius lebih dari 10 menit. “Spora bakteri ini akan mati,” katanya.
Menurutnya, kemunculan antraks sering terjadi berulang pada suatu daerah karena spora dari bakteri antraks tersebut bisa bertahan di dalam tanah dalam puluhan tahun. Di masa musim penghujan dengan kelembaban di atas 95 persen, spora bakteri tersebut akan aktif kembali dan menular lewat tanaman yang dikonsumsi oleh hewan atau lewat bahan lain yang tercemar.
Widagdo menyarankan agar peternak lebih peka terhada hewan yang terindikasi tertular antraks. Peternak dianjurkan memanggil dokter hewan untuk memeriksa kondisi kesehatan hewan ternaknya. Selain itu, hewan yang tertular antraks juga disarankan untuk tidak dijual atau dipotong.”Jika menemukan hewan sakit karena antraks jangan pernah untuk dipotong atau disembelih bahkan untuk nekropsi (bedah bangkai) saja tidak boleh. Hewan yang mati kena antraks seharusnya dibakar, tidak dikubur karena spora bakterinya bisa tumbuh kembali,” paparnya.
Hewan yang terkena antraks, menurut Widagdo, umumnya mati mendadak karena adanya pendarahan di otak, demam, hewan menjadi gelisah, pada sapi terdapat pembengkakan di leher, dada, dan keluar darah encer kehitaman dari lubang hidung. Hewan yang terjangkiti antraks umumnya diobati dengan pemberian antibiotik. “Selain pengobatan dilanjutkan dengan vaksinasi hewan yang rentan. Nah, daerah yang rentan ini wajib divaksinasi paling tidak 80 persen sudah divaksinasi. Perlunya sanitasi lingkungan lewat pemberian desinfektan,” ujarnya.
Dokter Spesialis Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM, dr. Abu Thalib aman, M.Sc., Ph.D., mengatakan penularan antraks berasal dari hewan ke manusia melalui kontak kulit yang terluka, lewat inhalasi (udara yang tercemar spora antraks terhirup) dan lewat bahan makanan yang tercemar yang dikonsumsi. Meski demikian, tidak mudah penyakit antraks bisa menginfeksi dan menular ke manusia. “Kecuali lebih dari 10 ribu spora antraks ini masuk ke tubuh manusia, itupun bisa dikendalikan karena di dalam tubuh kita sudah ada antibodi,” ujarnya.
Peneliti Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta, Dr. Indarto Sudarsono, mengatakan pihaknya tidak mudah untuk menguji hewan atau produk asal hewan terkena antraks karena bakteri Bacillus anthracis ini mudah mati apabila tercemar dengan bakteri lain. Ia mengemukakan bakteri antraks sangat mudah mati baik saat vegetatif ataupun dalam bentuk spora. “Mudah mati karena tercemar kuman lain karena kalah kompetisi,” katanya.
Selain itu, bakteri ini sangat sensitif terhadap obat antibiotik dan dapat dimusnahkan lewat desinfektan. Sementara itu, pengujian hingga ditemukannya kasus antraks di Kulonprogo berawal dari pengambilan sampel yang diambil dari daging kambing kemudian dibeli konsumen dan sebelumnya sempat disimpan dalam freezer. “Saya ambil, kita tahu bakteri antraks ada di dalam darah, kita uji kultur hasilnya negatif (sudah terpapar kuman-red), namun uji lainnya positif,”. (Humas UGM/Gusti Grehenson)